Minggu, 15 Februari 2009

Memaknai Perbuatan dan Perjanjian dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Ditulis pada 13 June 2008 oleh legalitas.org
Oleh: Suhariyono AR

1. Pedahuluan
Pasal 33 UUD 1945, tampaknya mengandung makna bahwa negara boleh melakukan monopoli. Tapi monopoli ini hanya diperuntukkan bagi negara dalam rangka menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang-cabang produksi (dulu di GBHN dikenal dengan sektor) yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu diberikan suatu batasan ruang lingkup dan pengertian yang jelas sehingga kekhawatiran tindakan monopoli yang bukan sektor pemenuhan hajat hidup orang banyak tidak terjadi, misalnya, perusahaan semen, perusahaan terigu, perusahaan gula, dll. (apakah semen, terigu, dan gula merupakan sektor pemenuhan hajat hidup orang banyak?).

Jika Pasal 51 UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Monopoli) dikaitkan dengan Pasal 33 UUD, apakah dapat diartikan bahwa semua yang mendasarkan pada Pasal 33 UUD tersebut dikecualikan dari larangan monopoli. Jika ya, maka semua turunan dari pelaksanaan Pasal 33 UUD dikompilasi untuk dijadikan rujukan dalam membuat pedoman dan kriteria pengecualian.

Di Indonesia, kebutuhan akan air minum, listrik, minyak, telepon, pos, transportasi, masih dianggap sebagai sektor yang memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak. Untuk itu, negara masih sebagai pemegang saham terbesar dalam sektor-sektor tersebut. Namun karena perkembangan ekonomi yang global, dan tuntutan persaingan yang sehat, serta memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada masyarakat untuk berusaha, perusahaan tersebut kemudian dijadikan perusahaan yang go public. Pertamina diberikan kesempatan 5 tahun untuk mengubah perusahaannya menjadi persero dan berdasarkan Undang-undang tentang Migas, penjualan BBM nantinya tidak hanya dilakukan Pertamina, melainkan perusahaan lain dapat menjual BBM (meskipun BBMnya impor dari luar negeri dengan syarat tertentu berdasarkan batasan tarif yang ditentukan pula).

Dengan adanya perkembangan di atas, apakah Pasal 33 UUD 1945 masih perlu dipertahankan, kita tunggu perkembangan ekonomi global berikutnya. Monopoli yang dilegalkan oleh peraturan perundang-undangan (dalam hal ini UUD) diartikan sebagai monopoly by law. Di samping itu, kita kenal pula adanya monopoly by nature yakni monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang sesuai dengan pangsa pasar tempat pelaku usaha tumbuh yang didukung pula oleh faktor-faktor yang dominan. Faktor yang dominan ini jika meluas dan global, yang penyebarannya mendunia, misalnya, perusahaan Microsoft, akan menutup kemungkinan daya saing perusahaan lain yang sejenis.

Jenis monopoli yang ketiga adalah monopoly by licence yakni monopoli yang diperoleh melalui perizinan yang biasanya menggunakan pengaruh kekuasaan. Monopoli yang terakhir ini sering mengganggu keseimbangan pasar yang sedang berjalan. Diskriminasi sering timbul dari jenis monopoli ini.

Dalam perjalanan untuk menghambat monopoli di Indonesia, pemerintah telah berusaha untuk mengeluarkan suatu kebijakan, misalnya, adanya sistem “bapak angkat” yang dilakukan oleh perusahaan besar terhadap perusahaan kecil. Juga pernah ada usaha pemerintah dengan menyarankan kepada konglomerat untuk mengalihkan sahamnya ke perusahaan kecil atau koperasi. Namun usaha di atas belum mencapai sasaran karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mendasarinya.

Sekarang ini telah disahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, juga ada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang didukung pula oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka selayaknya pelaku usaha telah terikat dengan komitmen yang dituangkan dalam ketiga undang-undang di atas untuk selalu mematuhi norma yang diatur di dalamnya.

2. Praktik Monopoli atau Persaingan Usaha Tidak Sehat
Di dalam UU Monopoli, secara garis besar mengatur suatu larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang dibagi menjadi dua yakni larangan atas kegiatan tertentu dan larangan atas perjanjian tertentu. Monopoli diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.

Praktik monopoli adalah pemusatan kekuasaan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Pemusatan kekuasaan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang ditentukan dalam UU Monopoli meliputi perbuatan (kegiatan usaha) dan perjanjian sebagai berikut:

(Oligopoli) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; pelaku usaha diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi tersebut apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar untuk satu jenis barang dan atau jasa tertentu;
(Penetapan Harga) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama; ketentuan tersebut tidak berlaku bagi suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
pelaku usaha yang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama;
pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;
pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;
(Pembagian Wilayah) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
(Pemboikotan) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :
a. merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
(Kartel) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
(Trust) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengnan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat;
(Oligopsoni) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dengan menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
(Integrasi Vertikal) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
(Perjanjian Tertutup) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu;
pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
pelaku usaha yang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok;
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
(Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri) pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
(Monopoli) pelaku usaha yang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; pelaku usaha tersebut patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa tersebut, apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya;
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
(Monopsoni) pelaku usaha yang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan yang tidak sehat; pelaku usaha tersebut patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal, apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
(Penguasaan Pasar) pelaku usaha yang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;
c. membatasi perederan dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
pelaku usaha yang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
pelaku usaha yang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;
(Persekongkolan) pelaku usaha yang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;
pelaku usaha yang bersekongkol dengan pihak lain mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasi sebagai rahasia perusahaan sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;
pelaku usaha yang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan;
(Posisi Dominan) pelaku usaha yang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas;
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
disebut pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut apabila :
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b. dua atau tiga pelaku atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
(Jabatan Rangkap) orang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan tersebut;
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha;
c. secara bersama-sama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(Pemilikan Saham) pelaku usaha yang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan :
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b. dua atau tiga pelaku atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
• (Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan) pelaku usaha yang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
3. Pengecualian
Untuk memahami makna “perbuatan” dan “perjanjian”, diperlukan suatu pemahaman setiap pasal yang terkait dengan larangan atas perbuatan dan perjanjian tersebut. UU telah membagi larangan praktek monopoli ke dalam dua istilah pokok yakni perbuatan (kagiatan) yang dilarang dan perjanjian yang dilarang. Kedua istilah tersebut harus dipilah-pilah untuk memudahkan pemahaman, mana yang perbuatan (kegiatan) dan mana yang perjanjian.

UU dalam menggunakan istilah tampaknya tidak konsisten. Pasal 50 a menggunakan istilah “perbuatan”, padahal istilah tersebut tidak dikenal dalam larangan sebagaimana ditentukan dalam Bab IV UU. Hal ini berseberangan dengan istilah “perjanjian” yang telah dikenal dalam Bab III UU. Mengenai hal ini harus disepakati bersama bahwa istilah perbuatan harus dimaknai “kegiatan” karena hanya kedua istilah tersebut yang dinyatakan dilarang dan dikecualikan.

Mengenai kegiatan yang dilarang, UU memberikan satu bab khusus yang mengatur mengenai kegiatan yang dilarang, yakni dalam Bab IV yang terdiri atas 8 pasal. Jika ditinjau karakteristik dari kegiatan yang dilarang tersebut, maka kegiatan yang dilarang tersebut dapat digolongkan ke dalam 4 kegiatan, yakni:
a. monopoli (Pasal 17);
b. monopsomi (Pasal 18);
c. penguasaan pasar (Pasal 19 – Pasal 21);
d. persekongkolan (Pasal 22 – Pasal 24).

Jika 4 kegiatan di atas dikecualikan berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka kegiatan tersebut tidak dipidana. Peraturan perundang-undangan yang mengecualikan harus diartikan hanya undang-undang karena tidak mungkin terjadi suatu undang-undang dikecualikan oleh peraturan di bawahnya. Pengecualian tersebut juga berlaku bagi perjanjian yang hanya diatur oleh undang-undang.

4. Penutup

Pasal 50 huruf a yang menentukan adanya pengecualian terhadap perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diartikan hanya pada undang-undang;
Kegiatan harus diartikan perbuatan sebagaimana ditentukan dalam Bab IV;
Semua perbuatan dan perjanjian yang ditentukan dalam Undang-Undang harus dirinci satu persatu dan dicarikan rujukannya ke undang-undang lainnya yang memang mengecualikan perbuatan dan perjanjian tersebut;
Jika setiap perbuatan dan perjanjian yang ditentukan dalam Undang-Undang tidak dikecualikan dalam suatu undang-undang, maka pengecualian Pasal 50 huruf a tidak berlaku.
Perlu adanya pengkajian terhadap substansi undang-undang yang melaksanakan Pasal 33 UUD 1945, jika Pasal 51 UU Monopoli dimaknai sebagai pengecualian terhadap turunan Pasal 33 tersebut.

Persekongkolan dlm Tender yang Mengakibatkan Persaingan Usaha Tidak Sehat: Studi Kasus di Indonesia, Amerika Serikat, dan Kanada

Dikirim/ditulis pada 12 August 2008 oleh syarip hidayat Oleh: Syarip Hidayat
[Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan (Perancang Muda) pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)]

I. Pendahuluan.
Sistem perekonomian masa kini yang mengglobal dan sangat terintegrasi memberikan peluang dan masalah bagi bangsa Indonesia. Secara umum, kekayaan sumber daya alam Indonesia dan dimensi pasarnya menjanjikan sejumlah keunggulan dalam persaingan global, investasi asing dan pasar ekspor. Namun perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks telah menimbulkan persaingan yang ketat dalam perdagangan internasional, baik perdagangan barang maupun jasa. Berbagai praktik untuk memenangkan persaingan sering dilakukan oleh para pelaku bisnis diberbagai negara di dunia termasuk dengan menggunakan praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat (unfair trade practices).

Terdapat adagium bahwa transakasi perdagangan termasuk perdagangan internasional harus dilakukan secara ‘fair’ diantara semua pihak yang bertransaksi. Oleh karena itu jika suatu pihak ternyata tidak ‘fair’ maka pihak yang tidak ‘fair’ tersebut pantas menerima sanksi. Karena praktik dagang yang tidak ‘fair’ ini akan dapat mengakibatkan timbulnya hambatan dalam arus perdagangan.Pada tahun 1999 Negara Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Monopoli dalam Undang-undang ini diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk ikut ambil bagian. Monopoli diartikan sebagai suatu hak istimewa (previlege), yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga akan menciptakan penguasaan pasar. Pengertian monopoli dalam Black’s Law Dictionary “Monopoly is a previlege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the wholesupply of a particular commodity.[2]

Persaingan usaha tidak sehat adalah suatu bentuk yang dapat diartikan secara umum terhadap segala tindakan ketidakjujuran atau menghilangkan persaingan dalam setiap bentuk transaksi atau bentuk perdagangan dan komersial. Unfair competition is a term which may be applied generally to all dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, but is particularly applied to the practice of endeavoring to subtitute one’s own goods or products in the markets for those of another, having and established reputation and extensive sale, by means of imitating or counterfeiting the name, tittle, shape, or distinctive peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or general appearance of the package, or other such simulations, the immitation being carried far enough to mislead the general public or deceive an unwary purchaser, and yet not amounting to an absolute counterfeit or to the infringement of a trade mark or trade name.[3] Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi perusahaan yang besar dan paling kaya.

Monopoli dapat pula terjadi karena memang dikehendaki oleh hukum, sehingga timbullah apa yang disebut sebagai monopoly by the law. Dalam UUD 1945 juga dibenarkan adanya monopoli jenis ini, yaitu dengan memberi hak monopoli oleh negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.Sistem ekonomi Pancasila yang ada di Indonesia mencoba untuk menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung dalam sistem liberalisme dan sosialisme. Dalam Pasal 33 UUD 1945 dapat dilihat ciri positif yang hendak dicapai dalam sistem perekonomian kita. Hal ini dapat dilihat realisasinya dalam penguasaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bidang-bidang tertentu yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan mempunyai nilai strategis.

Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, para pengusaha harus lebih berhati-hati dalam melakukan perjanjian yang berhubungan dengan penguasaan pasar dan menentukan kerja sama dalam penanganan suatu proyek tertentu terlebih apabila lagi proyek tersebut berasal dari suatu tender yang dilakukan oleh suatu perusahaan besar. Sebelum dikeluarkannnya UU Nomor 5 Tahun 1999, sering kali terjadi dimana dalam suatu tender proyek besar dilakukan dengan tidak transparan, artinya sebelum tender dilakukan telah diketahui siapa yang bakal menjadi pemenang tender, walaupun pelaksanaan tender itu tetap dilaksanakan dengan beberapa peserta tender, hal ini mengakibatkan pelaku usaha yang bergerak dalam bidang pemborongan proyek tersebut merasa diperlakukan tidak jujur (unfair). Keadaan ini dapat terjadi karena adanya persekongkolan (conspiracy) diantara pemberi borongan dan atau pelaku usaha pemborongan tersebut.

Tindakan persekongkolan (conspiracy) dalam hukum persaingan termasuk dalam kategori perjanjian. Pada hakekatnya, perjanjian terdiri dari dua macam, pertama, perjanjian yang dinyatakan secara jelas (express agreement), biasanya tertuang dalam bentuk tertulis, sehingga relatif lebih mudah dalam proses pembuktiannya. Kedua, perjanjian tidak langsung (implied agreement), biasanya berbentuk lisan atau kesepakatan-kesepakatan, dalam hal ini tidak ditemukan bukti adanya perjanjian, khususnya implied agreeement, dan jika keberadaan perjanjian tersebut dipersengketakan, maka diperlukan penggunaan bukti yang tidak langsung atau bukti yang melingkupi untuk menyimpulkan perjanjian dan/atau persekongkolan tersebut.[4] Mengingat bahwa persekongkolan selalu dilakukan oleh lebih dari satu pelaku, sebenarnya tindakan ini bisa diatur di dalam kategori perjanjian yang dilarang.

Persekongkolan yang dilarang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah mencakup persekongkolan untuk mengatur pemenang tender atau tindakan bid rigging (Pasal 22), persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan (Pasal 23), dan persekongkolan untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya serta terganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasal 24).

Di negara-negara yang tidak mempunyai undang-undang yang membatasi kegiatan usaha sekali pun terdapat undang-undang khusus tentang tender. Kebanyakan negara menggunakan ketentuan yang lebih ketat terhadap partisipasi dalam persengkongkolan tender daripada terhadap perjanjian horizontal lainya, karena terdapat aspek kecurangan, dan terutama dampaknya merugikan pembelanjaan pemerintah dan pengeluaran negara. Persekongkolan dalam tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disebut juga dengan istilah bid rigging. Bid rigging adalah praktek anti persaingan yang bisa terjadi diantara para pelaku usaha yang seharusnya saling merupakan pesaing dalam suatu lelang.[5] Secara sederhana bid rigging dapat dikatakan sebagai suatu kesepakatan yang menyamarkan adanya persaingan untuk mengatur pemenang dalam suatu penawaran lelang (tender) melalui pengelabuan harga penawaran.

Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1999, persekongkolan dalam tender (bid rigging) seperti tersebut di atas jelas sangat dilarang berdasarkan Pasal 22, yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”Pengawasan terhadap tindakan persekongkokal tersebut di atas diatur dalam Pasal 30 UU Nomor 5 Tahun 1999, yaitu Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU), KPPU adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintahan serta pihak lain dan juga mempunyai kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. KPPU inilah yang menentukan apakah pelaku usaha bersekongkol untuk memenangkan tender sehingga mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat atau tidak, dan juga memberikan putusan sebagai akibat dipenuhinya unsur melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut.


II. Persekongkolan dan Manipulasi Dalam Tender Yang Mengakibatkan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang segala bentuk cara persekongkolan oleh pelaku usaha dengan pihak lain dengan tujuan mengatur atau menentukan pemenang suatu tender. Hal itu jelas perbuatan curang dan tidak fair terutama bagi peserta tender lainya. Sebab sudah inherent dalam istilah ‘tender’ bahwa pemenangnya tidak dapat diatur melainkan siapa yang melakukan bid yang baik dialah yang menang.[6] Karena itu segala bentuk persengkongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender dapat mengakibatkan terjadinya suatu persaingan usaha yang tidak sehat. Penjelasan Pasal 22 dari UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dimaksud tender adalah tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk mengadakan suatu jasa. Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengasumsikan bahwa persekongkolan terjadi diantara para pelaku usaha, dengan demikian penerapan ketentuan tersebut harus menyepakati dua kondisi, yaitu pihak-pihak tersebut harus berpartisipasi, dan harus menyepakati persekongkolan.

Persekongkolan ini ditujukan untuk mengakibatkan tender kolusif, artinya para pesaing sepakat untuk mempengaruhi hasil tender demi kepentingan salah satu pihak dengan tidak mengajukan penawaran atau mengajukan penawaran pura-pura.[7] Manipulasi tender adalah kesepakatan antara para pihak agar pesaing memenangkan suatu tender.[8] Kesepakatan ini dapat dicapai oleh satu atau lebih peserta tender yang sepakat menahan diri untuk tidak mengajukan penawaran atau oleh para peserta tender yang menyepakati satu peserta dengan dengan harga lebih rendah dan kemudian menawarkannya di atas harga perusahaan yang direncanakan (dan dinaikkan). Proses pelelangan dirancang untuk meningkatkan keadilan dan menjamin bahwa harga yang serendah mungkin yang diterima. Manipulasi harga dalam suatu tender akan menghancurkan proses kompetitif ini. Kasus ini sering terjadi atas proyek-proyek pemerintah.[9] Praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam proyek pemerintah telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat alam usaha memenangkan tender proyek tersebut, persaingan yang tidak sehat ini membuka peluang terjadinya monopoli orang atau perusahaan tertentu dalam proyek-proyek yang berkaitan dengan pemerintah dan pada gilirannya merugikan masyarakat umum.[10]Mekanisme manipulasi dalam tender sangat beragam dan bervariasi, tetapi umumnya termasuk dalam kategori berikut ini:[11]

tekanan penawaran. Satu atau lebih pesaing setuju menahan diri untuk tidak mengikuti tender atau untuk menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya agar perusahaan lain dapat memenangkan pelelangan itu. Pihak-pihak dalam kesepakatan secara administratif atau melalui pengadilan dapat menantang penawaran perusahaan-perusahaan yang bukan merupakan pihak dalam kesepakatan atau dengan cara lain berupaya mencegah mereka mengikuti lelang, misalnya dengan menolak untuk mensuplai bahan-bahan atau surat penawaran untuk sub kontrak.
penawaran pelengkap. Perusahaan-perusahaan yang bersaing sepakat diantara mereka sendiri siapa yang seharusnya memenangkan lelang dan kemudian setuju bahwa yang lainnya akan mengajukan harga-harga penawaran yang pura-pura tinggi untuk menciptakan penampilan persaingan yang bersemangat, atau perusahaan-perusahaan yang kalah dapat mengajukan harga-harga kompetitif tetapi disertai dengan syarat-syarat lain yang tidak dapat diterima.
rotasi penawaran. Para pesaing bergiliran menjadi pemenang lelang, sedangkan yang lain mengajukan harga yang tinggi.
Perusahaan-perusahaan yang bersepakat itu secara umum akan mencoba membuat tender-tender dimenangkan secara merata oleh masing-masing dari waktu ke waktu, pola rotasi yang teratur merupakan petunjuk adanya persekongkolan dalam tender tersebut.Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 mencakup konspirasi tender, yaitu suatu hambatan persaingan yang seringkali dianggap sangat serius. Jika hasil pengumuman tender menguntungkan salah satu peserta yang mengambil bagian, maka tender tersebut secara tersirat mengandung pembatasan persaingan harga.

Persengkongkolan tender terjadi apabila pesaing menyepakati mempengaruhi hasil tender untuk kepentingan salah satu pihak, dengan cara tidak mengajukan penawaran atau mengajukan penawaran yang pura-pura saja, dengan penawaran harga tertinggi yang terkoordinasi, yang mengharap bahwa kontrak diberikan kepada penawar yang memasukkan penawaran tertinggi. Perilaku tersebut biasanya didasarkan pada harapan bahwa pihak yang tidak mengikuti tender bersangkutan akan mendapatkan giliran pada tender yang akan datang berdasarkan kegiatan kolusif yang dilakukan. Tender kolusif biasanya bermaksud untuk meniadakan persaingan harga dan menaikkan harga.

Dalam kaitan ini UNCTAD, menyatakan bahwa partisipasi dalam persengkongkolan tender terdapat dalam berbagai bentuk, yaitu perjanjian untuk mengajukan penawaran identik perjanjian yang menentukan siapa yang mengajukan penawaran yang termurah, perjanjian tentang penawaran yang secara sukarela terlalu mahal (cover bid), perjanjian tidak akan bersaing satu sama lain dalam mengajukan penawaran, perjanjian standar umum untuk menentukan harga atau kondisi tender, perjanjian ‘memeras’ peserta tender luar, perjanjian yang sebelumnya mengatur pemenang tender atas rotasi atau alokasi geografis atau alokasi pelanggaran. Perjanjian-perjanjian dapat meliputi sistim penyediaan ganti rugi untuk peserta tender yang tidak berhasil berdasarkan persentase tertentu dari laba yang diperoleh peserta yang berhasil untuk dibagikan kepada peserta yang tidak berhasil pada akhir jangka waktu tertentu.[12]

Persekongkolan juga bertujuan untuk melakukan tender kolusif, jika posisi yang melakukan tender dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha yang bersepakat dengan seorang penawar individu potensial untuk mempengaruhi hasil pengumuman tender untuk keuntungan penawar yang bersangkutan dengan tidak lagi memperhatikan penawaran yang diajukan oleh penawar lainnya.[13]Pada umumnya, tender kolusif diperlakukan sebagai per se illegal. Namun demikian, Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menetapkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan ini akan diperiksa dengan pendekatan rule of reason. Kalimat yang menyatakan “…dapat mengakibatkan terjadinya…” mengandung pengertian bahwa tender kkolusif “boleh” dilakuakan asal tidak “…mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.[14]

Ketentuan ini berbeda dengan pengaturan tender di negara mana pun, dan akan mempersulit badan pengawas persaingan usaha, untuk membuktikan apakah tindakan tersebut mendukung atau merusak persaingan. Hal ini mengingat tender kolusif sama sekali tidak berkaitan dengan struktur pasar (strucutre), dan tidak terdapat unsur pro-persaingan sama sekali. Tender kolusif lebih mengutamakan prilaku (behavior) berupa perjanjian untuk bersekongkol (conspiracy) yang pada umumnya dilakukan secara diam-diam. Oleh karena itu, terhadap persekongkolan penawaran tender seharusnya menggunakan pendekatan per se illegal.[15]

Bagaimanapun juga, tender kolusif sebagai koordinasi persaingan harga merupakan pembatasan persaingan usaha yang horizontal untuk pembahasan secara terperinci apakah pihak-pihak yang terkait dianggap pesaing. Persekongkolan yang bertujuan mengakibatkan terjadinya tender kolusif hanya dilarang jika dapat mengarah ke persaingan usaha yang tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 6. persaingan usaha tidak sehat dapat dibandingkan dengan efek suatu kartel, yaitu kriteria yang terdapat dalam hambatan terhadap alternatif yang dimiliki pihak lawan dalam pasar dan/atau kebebasan ekonomi untuk bertindak yang dimiliki oleh pihak luar kartel, dan efek kewajiban eksklusivitas yang khususnya membatasi saluran/sumber pasokan para pesaing dari pelaku usaha yang menyebabkan hal tersebut.

Oleh karena itu, hambatan hukum untuk memulai penyelidikan hal ini berbeda, yaitu bahwa dalam persekongkolan antara pelaku persaingan usaha harus ditegaskan tentang kemungkinan yang cukup bagi terjadinya pembatasan kebebasan bertindak pihak luar kartel dan/atau pihak lawan dalam pasar, dan dalam persekongkolan antara pembeli dan pemasok pun harus ditegaskan tentang kemungkinan yang cukup bagi pembatasan peluang terciptanya pasar para pesaing dari pelaku usaha yang menyebabkan hal tersebut. Persyaratan-persyaratan inilah yang selalu ada dalam persekongkolan untuk mencapai tender kolusif.

Apabila terjadi suatu kartel tender kolusif, maka pihak yang mengumumkan tender (bid inviting party) akan mengalami keterbatasan dalam hal memilih peluang. Apabila terjadi perjanjian antara pihak yang mengumumkan tender dan seorang penawar yang potensial, maka penawar potensial yang lainnya akan kehilangan saluran penjualan/sumber pasokan yang mereka miliki. Namun dalam hal ini perlu diperhatikan De minimis rule, adalah merupakan prinsip umum bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dibuat atas dasar berat kuantitatif dan/atau kualitatif dari hambatan persaingan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa lingkup tindakan dari pihak lawan dalam pasar dan/atau pihak di luar kartel atau para pesaing yang terkena pengaruh tidak hanya harus terpengaruh secara abstrak dan teoritis, tetapi juga harus terpengaruh secara kongkrit dan nyata. UNCTAD menyatakan bahwa “De minimis exemptions are those which are granted for transactions involving firms with turover or market share below a certain threshold, which are not consider to affect competition significantly enough to make it necessary for the law to be made applicable to them or to be applied by them.”[16]


III. Beberapa Kasus Persekongkolan Dalam Tender di Indonesia yang telah Diputuskan oleh KPPU.
Dalam pembahasan ini akan dikemukakan dua kasus berbeda yang telah diputus oleh KPPU dengan keputusan yang berbeda, kasus pertama dikemukakan karena menurut KPPU tindakan tersebut merupakan persekongkolan dan telah melanggar Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, sedangkan kasus kedua dinyatakan oleh KPPU tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan dikemukakannya kedua kasus tersebut diharapkan dapat menjadi gambaran untuk studi kasus betapa dalam memutuskan suatu permasalahan persekongkolan dalam tender memerlukan pembuktian dan proses yang sangat rumit (complicated) dan kompleks.

1. Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2001:
Kasus Tender Pipanisasi di Sumatera oleh PT. Caltex Pacific Indonesia.Kasus ini bermula dari suatu laporan yang diterima oleh KPPU pada tanggal 30 Juni 2000 dalam bentuk sebuah surat tertanggal 5 April 2000, yang pada intinya adalah melaporkan bahwa telah terjadi pelanggaran asas keadilan dan kesetaraan dalam pelaksanaan tender yang dilakukan oleh PT. Caltex Pasific Indonesia. Kemudian pada tanggal 14 September 2000, KPPU kembali menerima laporan dalam bentuk sebuah surat tertanggal 13 September 2000, yang berisi pernyataan bahwa PT. Caltex Pasific Indonesia telah menyelenggarakan tender yang hanya dapat diikuti oleh beberapa gelintir rekanan saja, dan rekanan yang lain tidak dapat menikmati.[17]

Pengaduan ke KPPU tentang PT. Caltex Pasific Indonesia itu sendiri datang dari pengusaha-pengusaha kelas kecil dan menengah. Menurut pengaduan mereka, dalam melakukan tender pipanisasi di Sumatera, PT. Caltex Pasific Indonesia melakukannya dengan sistem paket yang mengakibatkan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah tidak dapat ikut dalam tender tersebut.

Rencana tender dari PT. Caltex Pasific Indonesia ini dianggap tidak wajar bagi peserta (bidders) yang lain dan tidak memenuhi kriteria dari asas keadilan dan kesetaraan. Rencana tender tersebut memiliki ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang tidak lazim seperti yang dipakai dan cenderung untuk mengarahkan kepada pemasok tertentu.Peserta tender hanya empat bidders, yaitu PT. Purna Bina Nusa yang memiliki fasilitas upsetting dan heat treatment, sehingga hanya dapat menawarkan low grade, PT Patraindo Nusa Pertiwi juga setara dengan PT. Purna Bina Nusa, PT. Citra Tubindo Tbk.

Yang memiliki fasilitas upsetting dan heat treatment, sehingga dapat menawarkan low grade dan high grade, dan PT. Seamless Pipe Indonesia Jaya, yang setara dengan PT. Citra tubindo Tbk., dapat menawarkan low grade dan high grade. Berdasarkan laporan-laporan tersebut di atas, dalam putusannya akhirnya pada tanggal 20 April 2001, KPPU menyatakan bahwa PT. Caltex Pasific Indonesia dalam tender yang diselenggarakannya telah melakukan persekongkolan dengan dengan sejumlah pemasok yang menjadi peserta dalam tender tersebut. Perusahaan pemasok yang dianggap telah melakukan persekongkolan dengan PT. Caltex Pasific Indonesia adalah PT. Citra Turbindo Tbk., PT. Patra Indonusa Pertiwi, dan PT. Purna Bina Nusa.
Menurut KPPU tindakan para pemasok tersebut merupakan persekongkolan dan telah melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.

Analisa:
putusan KPPU terhadap PT. Caltex Pasific Indonesia adalah tidak tepat, karena mengenai persyaratan tender yang diberikan oleh PT. Caltex Pasific Indonesia, tidak melanggar asas dan tujuan yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Nomor 5 Tahun 1999, karena perubahan persyaratan dalam pelaksanaan tender yang dilakukan oleh terlapor adalah kebijakan pelaku usaha yang tidak dilarang menurut UU Nomor 5 Tahun 1999. Sedangkan mengenai putusan KPPU yang menyatakan bahwa terlapor atau PT. Caltex Pasific Indonesia telah melakukan pelanggaran Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999, yaitu tindakan persekongkolan adalah tidak tepat, karena selama penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU tidak pernah ditemukan bukti bahwa PT. Caltex Pasific Indonesia terlibat dalam suatu persekongkolan.

Hal ini disebabkan karena PT. Caltex Pasific Indonesia sebagai penyelenggara tender tidak terbukti dan tidak terlibat dalam usaha menentukan pemenang tender yang dilakukan oleh PT. Citra Tubindo Tbk., PT. Purna Bina Nusa, dan PT. Patraindo Nusa Pertiwi. Berdasarkan hal tersebut, yang seharusnya dijadikan terlapor adalah ketiga perusahaan peserta tender yang terlibat pertemuan di Hotel Aryaduta, yaitu PT. Citra Tubindo Tbk., PT. Purna Bina Nusa, dan PT. Patraindo Nusa Pertiwi. Hal ini disebabkan karena PT. Caltex Pasific Indonesia sebagai penyelenggara tender tidak terbukti dan tidak terlibat dalam usaha menentukan pemenang tender yang dilakukan oleh PT. Citra Tubindo Tbk., PT. Purna Bina Nusa, dan PT. Patraindo Nusa Pertiwi. Oleh karena itu, yang terjadi diantara sesama pesaing dari peserta tender PT. Caltex Pasific Indonesia adalah bukan tindakan persaingan usaha tidak sehat yang berbentuk persekongkolan, tetapi tindakan persaingan usaha tidak sehat yang berbentuk kartel, dan berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dinyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

2. Putusan KPPU No. 08/KPPU-L/2001:
Kasus Tender Pengadaan Barite dan Bentonite B/S/0226 oleh YPF Maxus Southeast Sumatera B.V.;Perkara bermula dari laporan pihak pelapor dengan suratnya tertanggal 14 September 2001 yang menyampaikan laporan mengenai Tender Pengadaan Barite dan Bentonite B/S/0226, selanjutnya disebut dengan Tender No. B/S/0226. pihak terlapor yang sekaligus merupakan penyelenggara tender adalah YPF Maxus Southeast Sumatera B.V.. pihak pelapor mengajukan keberatan kepada terlapor untuk meninjau ulang hasil tender tersebut, karena terdapat kecenderungan mengarah kepada satu vendor dengan beberapa alasan, antara lain tidak terdapat kejelasan mengenai pengertian API Wyoming Bentonite karena API spec 13A terdiri dari section IV dan V,[18] penetapan cap API Monogram pada karung Bentonite tidak jelas, karena pelapor tidak yakin bahwa pabrik (grinding plant) PT. MI Indonesia di Batam telah memiliki API Monogram License dari American Petroleum Institute (API).

Selain itu, keseluruhan proses pengerjaan jasa pemotongan sampai dengan pemompaan Barite dan Bentonite ke dalam supply ship yang seharusnya dilakukan dilepas pantai telah dilakukan di darat, proses dan teknis pemompaan Barite dan Bentonite pelapor mendapat dukungan penuh dari PT. Bukitapit Bumipersada dimana teknisi yang terlibat adalah ex BJ Service yang telah berpengalaman dalam pengadaan semen dan pengoperasian bulk plant facility lebih dari lima tahun. Berdasarkan keterangan tersebut, maka pelapor menganggap bahwa tender Nomor B/S/0226 adalah diskriminatif dan bersifat monopolistik. Hal ini karena persyaratan yang ditetapkan oleh terlapor, yaitu Bentonite yang dipasok harus memiliki cap API monogram dan dianggap merupakan suatu rekayasa sehingga dapat mengarah kepada satu vendor, yaitu PT. MI Indonesia.

KPPU dalam putusannya menyatakan bahwa Terlapor, YPF Maxus Southeast Sumatra B.V. yang sekarang bernama CNOOC Southeast Sumatra B.V. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22, Pasal 19 huruf a dan d. Undang-undang Nomor 5 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.[19]

Analisa:
Ketentuan dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu adanya pelaku usaha dan adanya persekongkolan, namun demikian dalam perkara ini tidak ditemukan unsur persekongkolan yang dilakukan oleh perusahaan YPF Maxus Southeast Sumatera B.V. hal ini mengingat pertemuan-pertemuan yang diadakan antara pihak terlapor dengan PT. MI Indonesia adalah berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul dalam kegiatan pengeboran yang sedang dijalankan, termasuk penyediaan bahan-bahan pengeboran dan peralatan.

Dalam tender ini juga tidak terdapat ‘tindakan penyesuaian’ atau membandingkan dokumen sebelum penyerahan atau menciptakan persaingan semu untuk mengatur dan menetapkan pemenang tender. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka unsur persekongkolan yang terdapat dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak terpenuhi.


IV. Kasus Persekongkolan dalam Tender di Amerika Serikat dan Kanada.
Di beberapa negara, persekongkolan dalam tender merupakan jenis pelanggaran yang amat serius, karena tindakan tersebut biasanya merugikan negara dalam arti luas (juga propinsi, kelompok masyarakat, universitas, rumah sakit, angkatan bersenjata, dll.), sehingga kenaikan tingkat harga tersebut akhirnya membebani masyarakat. UNCTAD menyatakan bahwa “collusive tendering is inherently anti-competitive, since it contravenes the very purpose of inviting tenders, which is to procure goods or services on the most favourable prices and conditions…[20]

Tender kolusif di kebanyakan negara dianggap ilegal, bahkan di negara-negara yang tidak mempunyai undang-undang yang membatasi kegiatan usaha sekali pun sering terdapat perundang-undangan khusus tentang tender. Kebanyakan negara mengenakan ketentuan yang lebih ketat terhadap tender kolusif daripada perjanjian horisontal lainnya, karena terdapat aspek kecurangan, dan terutama dampaknya merugikan perbelanjaan pemerintah dan pengeluaran negara.[21]

Amerika Serikat dan Eropa menerapkan pengawasan yang ketat terhadap bid rigging. Di Amerika Serikat penanganan bid rigging seperti halnya dengan penggunaan kartel, yakni menghukum tindakan tersebut secara per se illegal. Bahkan Divisi Anti Trust Departemen Kehakiman Amerika Serikat menetapkan praktek tersebut sebagai tindakan kriminal berdasarkan Section 1 the Sherman Act, disertai dengan denda yang sangat tinggi.[22]

Namun demikian, dalam konteks ekonomi di Amerika Serikat, bid rigging dan price fixing ditetapkan sebagai tindak kecurangan (fraud). Pelaku bid rigging menyusun pola untuk mengambil uang dari konsumen dengan cara penipuan (kecurangan). Satu-satunya perbedaan antara bid rigging dan price fixing adalah dalam bentuk transaksi. Pola tindakan dari dua praktek tersebut merupakan perjanjian rahasia (secret agreement) untuk membatasi persaingan. Bid rigging merupakan sebagai jenis price fixing yang paling sederhana, dan dianggap sebagai pelanggaran per se illegal. Mahkamah Agung Amerika Serikat juga membenarkan adanya pandangan ini berdasarkan ketentuan Sherman Act. Penilaian terhadap bid rigging dan price fixing bukanlah bentuk atau metode yang digunakan, melainkan lebih kepada hasil yang akan dicapai dalam tindakan tersebut.

Negara-negara di Eropa juga mengatur secara kaku terhadap bid rigging. Bid rigging merupakan tindakan yang dianggap sebagai aktivitas kartel berdasarkan Article 85.1. of the Rome Treaty. Prosedur ketentuan tersebut diatur dalam Article 17 of the 1962 pengaturan tentang the Board of Chairman. Sementara itu European Community Commision dapat mengeluarkan peraturan untuk mengeliminasi langkah-langkah yang bertentangan dengan kegiatan ilegal berdasarkan Article 85.1. of the Treaty of Rome. Oleh karena itu, hal ini dapat diterapkan perusahaan yang diketahui atau secara sengaja melanggar ketentuan Article 85.1. of the Treaty of Rome, disertai dengan denda tinggi.[23]

Sedangkan di Jepang, persekongkolan dalam tender (bid rigging) dianggap bertentangan dengan peraturan yang berkaitan dengan anti monopoli. Ketentuan mengenai bid rigging diatur berdasarkan Pasal 2 ayat (6) Undang-undang Anti Monopoli, menetapkan bid rigging sebagai “pembatasan kegiatan usaha melalui kerja sama yang saling menguntungkan antara perusahaan, dan merupakan hambatan substansial terhadap persaingan di wilayah usaha bisnis tertentu yang bertentangan dengan kepentingan umum (kartel).” Bid rigging diatur sesuai dengan peraturan yang melarang hambatan substansial dalam persaingan yang dilakukan oleh asosiasi, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) butir 1 Undang-undang Anti Monopoli di Jepang.[24]

Dalam pembahasan ini akan dikemukakan dan dianalisa beberapa permasalahan yang terkait dengan persekongkolan dalam tender yang yang telah diputuskan oleh pengadilan di Amerika dan Kanada sebagai bahan perbandingan.

1. Amerika Serikat.
Kasus Tender Perangko. Kasus ini bermula dari kecurigaan seorang Attorney General yang bernama Eliot Spitzer yang menduga keras bahwa telah terjadi persekongkolan dalam tender (bid rigging) yang bernilai jutaan dollar pada pelelangan perangko di New York City.

Akibat keadaan tersebut sangat menghalangi persaingan terbuka (fair competition) dalam pelelangan perangko, kasus ini menyangkut 7 orang nama dari negara yang berbeda, yaitu Amerika, Inggris, dan Belanda. Ketujuh orang tersebut bekerjasama dalam sebuah persekongkolan (conspiracy) dan melakukan rencana-rencana sebelum lelang terbuka diadakan (seperti pra-lelang) dengan tujuan membuat kesepakatan tentang harga pembelian perangko. Pada intinya mereka bersepakat bahwa hanya ada satu pemenang diantara mereka dan akan ada semacam kompensasi dari pemenang tender berupa uang yang berjumlah ribuan dollar. Akibat perbuatan ini sangat dirasakan pada pasar dan penjual-penjual, pasar yang seharusnya adil dan menghasilkan tawaran kompetitif menjadi rusak.[25]

Analisa:
sangat jelas bahwa perbuatan persekongkolan dalam tender (bid rigging) sangat merugikan Negara Bagian New York serta dapat merusak pasar yang kompetitif sehingga menimbulkan deviasi pasar.

2. Kanada
Kasus Tender Penjualan KayuKasus ini bermula ketika Badan Pertanahan dan Pelayanan Jasa Kehutanan Propinsi Alberta mempublikasikan sebuah tender terbuka yang disertai dengan syarat-syarat dan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi oleh calon peserta tender.

Selanjutnya tender tersebut diterima oleh enam perusahaan yang semuanya bergerak dalam bisnis perkayuan. Dari pemeriksaan di pengadilan telah ditemukan fakta bahwa pada tanggal 27 Nopember 1997 telah terjadi pertemuan oleh pihak-pihak yang mewakili ke enam perusahaan tersebut. Pada pertemuan tersebut telah dibuat kesepakatan-kesepakatan tentang bagian-bagian dari tender yang dapat diambil oleh mereka. Dalam pertemuan itu juga ditentukan siapa-siapa saja yang akan dan/atau tidak mengajukan penawaran, berikut dengan harga penawaran. Hakim memutuskan bahwa dari hasil pemeriksaan bukti-bukti di persidangan, James P. Lindemulder and/et Shake Masters Manufacturing Inc., secara meyakinkan telah terbukti melawan pasal 655 Undang-undang Kriminal Kanada.

Analisa:
Dari hasil pemeriksaan pengadilan terbukti bahwa dari enam peserta tender hanya ada dua perusahaan yang mengajukan penawaran tertinggi, dan sekaligus memenangkan tender tersebut.

Dengan demikian telah terjadi bid rigging yang menghambat persaingan dan sekaligus merugikan Badan Pengelola Tanah dan Sumberdaya Kehutanan Propinsi Alberta dalam usahanya mendapatkan harga penawaran terbaik. Section 1.1 Undang-undang Antitrust Kanada menyebutkan:“The purpose of this Act is to maintain and encourage competition in Canada in order to promote the efficiency and adaptability of the Canadian economy, in order to expand opportunities for Canadian participation in world markets while at the same time recognizing the role of foreign competition in Canada, in order to ensure that small and medium-sized enterprises have an equitable opportunity to participate in the Canadian economy and in order to provide consumers with competitive prices and product choices.”

Beberapa tindakan yang dilarang dalam Undang-undang Antimonopoli Kanada adalah: conspiracy to lessen competition; an agreement or arrangement between or among two or more persons whereby one or more of those persons agrees or undertakes not to submit a bid in response to a call or request for bids or tenders.


BIBLIOGRAFI
Anggraini, A.M. Tri. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan tidak Sehat: Perse Illegal atau Rule of Reason. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Black, Henry Campbell. Black Law Dictionary:6th ed. St. Paul, Minnesotta: 1990.

Bank Dunia Washington D.C., dan OECD Paris, Kerangka Rancangan dan Pelaksanaan Undang-undang dan Kebijakan Persaingan.

Fuady, Munir. Hukum Anti-Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda dan Benny K. Harman. Analisa dan Perbandingan Undang-undang Anti Monopoli: Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999.

Sacker and Lohse, Law Concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Competition. Jakarta: GTZ & Katalis, 2002.

http://www.oag.state.ny.us/press/2001/jul/jul23a_01.html.


Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-L/2001

Putusan KPPU Nomor 08/KPPU-L/2001


ENDNOTE:
[1] Perancang Muda, Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
[2] Henry Campbell Black, Black Law Dictionary:6th ed. (St. Paul, Minnesotta, 1990), hal. 1007.
[3] Ibid., hal. 1529-1530.
[4] A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan tidak Sehat: Perse Illegal atau Rule of Reason (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 299-230
[5] Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 45.
[6] Munir Fuady, Hukum Anti-Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 85.
[7] A.M. Tri Anggraini, Op.cit. hal. 303.
[8] Bank Dunia Washington D.C., dan OECD Paris, Kerangka Rancangan dan Pelaksanaan Undang-undang dan Kebijakan Persaingan, hal. 28.
[9] Ibid.
[10] Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-undang Anti Monopoli: Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999), hal. 21.
[11] Op.Cit.
[12] Sacker and Lohse, Law Concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Competition (Jakarta: GTZ & Katalis, 2002), hal. 314.
[13] Ibid.
[14] “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
[15] A.M. Tri Anggraini, Op.cit. hal. 363.
[16] UNCTAD, Uruguay Round Agreements, dalam Ibid. hal. 315
[17] Putusan KPPU Nomor 01/KPPU-L/2001
[18] pada tanggal 19 September 2001 terlapor telah memberikan jawaban atas surat tersebut dengan menyatakan bahwa Bentonite yang diminta adalah sesuai dengan API spec 13A section IV untuk treated bentonite.
[19] Putusan KPPU Nomor 08/KPPU-L/2001
[20] UNCTAD, Uruguay Round Agreements, dalam Sacker and Lohse, Loc. cit., hal. 314.
[21]Sacker and Lohse, Ibid.
[22] Naoki Okatani, dalam A.M. Tri Anggraini, Op.cit., hal. 365.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hal 364.
[25] http://www.oag.state.ny.us/press/2001/jul/jul23a_01.html.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang: a. bahwa agar pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat, dipandang perlu menyempurnakan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah;
b. bahwa untuk maksud tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;


Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956);
3. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4212);


MEMUTUSKAN:


Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama
Pengertian Istilah

Pasal 1
Dalam Keputusan Presiden ini, yang dimaksud dengan:

1. Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa;
2. Pengguna barang/jasa adalah kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/pemimpin bagian proyek/pengguna anggaran Daerah/pejabat yang disamakan sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam lingkungan unit kerja/proyek tertentu;
3. Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa;
4. Kepala kantor/satuan kerja adalah pejabat struktural departemen/ lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari dana anggaran belanja rutin APBN;
5. Pemimpin proyek/pemimpin bagian proyek adalah pejabat yang diangkat oleh Menteri/Pemimpin Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota/pejabat yang diberi kuasa, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari anggaran belanja pembangunan APBN;
6. Pengguna Anggaran Daerah adalah pejabat di lingkungan pemerintah propinsi/ kabupaten/kota yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari dana anggaran belanja APBD;
7. Pejabat yang disamakan adalah pejabat yang diangkat oleh pejabat yang berwenang di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Republik Indonesia (Polri)/pemerintah daerah/Bank Indonesia (BI)/Badan Hukum Milik Negara (BHMN)/Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari APBN/APBD;
8. Panitia pengadaan adalah tim yang diangkat oleh pengguna barang/jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa;
9. Pejabat pengadaan adalah personil yang diangkat oleh pengguna barang/jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
10. Pemilihan penyedia barang/jasa adalah kegiatan untuk menetapkan penyedia barang/jasa yang akan ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan;
11. Barang adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi/peralatan, yang spesifikasinya ditetapkan oleh pengguna barang/jasa;
12. Jasa Pemborongan adalah layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik lainnya yang perencanaan teknis dan spesifikasinya ditetapkan pengguna barang/jasa dan proses serta pelaksanaannya diawasi oleh pengguna barang/jasa;
13. Jasa Konsultansi adalah layanan jasa keahlian profesional dalam berbagai bidang yang meliputi jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi, dan jasa pelayanan profesi lainnya, dalam rangka mencapai sasaran tertentu yang keluarannya berbentuk piranti lunak yang disusun secara sistematis berdasarkan kerangka acuan kerja yang ditetapkan pengguna jasa;
14. Jasa lainnya adalah segala pekerjaan dan atau penyediaan jasa selain jasa konsultansi, jasa pemborongan, dan pemasokan barang;
15. Sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah adalah tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah yang merupakan persyaratan seseorang untuk diangkat sebagai pengguna barang/jasa atau panitia/pejabat pengadaan;
16. Dokumen pengadaan adalah dokumen yang disiapkan oleh panitia/pejabat pengadaan sebagai pedoman dalam proses pembuatan dan penyampaian penawaran oleh calon penyedia barang/jasa serta pedoman evaluasi penawaran oleh panitia/pejabat pengadaan;
17. Kontrak adalah perikatan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa;
18. Usaha kecil termasuk koperasi kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
19. Surat jaminan adalah jaminan tertulis yang dikeluarkan bank umum/lembaga keuangan lainnya yang diberikan oleh penyedia barang/jasa kepada pengguna barang/jasa untuk menjamin terpenuhinya persyaratan/kewajiban penyedia barang/jasa;
20. Kemitraan adalah kerjasama usaha antara penyedia barang/jasa dalam negeri maupun dengan luar negeri yang masing- masing pihak mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang jelas, berdasarkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam perjanjian tertulis;
21. Pakta integritas adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh pengguna barang/jasa/panitia pengadaan/pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa;
22. Pekerjaan kompleks adalah pekerjaan yang memerlukan teknologi tinggi dan/atau mempunyai resiko tinggi dan/atau menggunakan peralatan didesain khusus dan/atau bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).


Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 2
(1) Maksud diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari APBN/APBD.
(2) Tujuan diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.


Bagian Ketiga
Prinsip Dasar

Pasal 3
Pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip:

a. efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
b. efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;
c. terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
d. transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;
e. adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
f. akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.


Bagian Keempat
Kebijakan Umum

Pasal 4
Kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan barang/jasa adalah:

a. meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun dan perekayasaan nasional yang sasarannya adalah memperluas lapangan kerja dan mengembangkan industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing barang/jasa produksi dalam negeri pada perdagangan internasional;
b. meningkatkan peran serta usaha kecil termasuk koperasi kecil dan kelompok masyarakat dalam pengadaan barang/jasa;
c. menyederhanakan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dalam pengadaan barang/jasa;
d. meningkatkan profesionalisme, kemandirian, dan tanggungjawab pengguna barang/jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang/jasa;
e. meningkatkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan;
f. menumbuhkembangkan peran serta usaha nasional;

g. mengharuskan pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
h. mengharuskan pengumuman secara terbuka rencana pengadaan barang/jasa kecuali pengadaan barang/jasa yang bersifat rahasia pada setiap awal pelaksanaan anggaran kepada masyarakat luas.


Bagian Kelima
Etika Pengadaan

Pasal 5
Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut:

a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggungjawab untuk mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa;
b. bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa;
c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung untuk mencegah dan menghindari terjadinya persaingan tidak sehat;
d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan para pihak;
e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa (conflict of interest);
f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa;
g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.


Bagian Keenam
Pelaksanaan Atas Pengadaan

Pasal 6
Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan:
a. dengan menggunakan penyedia barang/jasa;
b. dengan cara swakelola.


Bagian Ketujuh
Ruang Lingkup

Pasal 7
(1) Ruang lingkup berlakunya Keputusan Presiden ini adalah untuk:

a. pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD;
b. pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) yang sesuai atau tidak bertentangan dengan pedoman dan ketentuan pengadaan barang/jasa dari pemberi pinjaman/hibah bersangkutan;
c. pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan BI, BHMN, BUMN, BUMD, yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.
(2) Pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dari dana APBN, apabila ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri/Pemimpin Lembaga/Panglima TNI/Kapolri/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN harus tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Keputusan Presiden ini.
(3) Peraturan Daerah/Keputusan Kepala Daerah yang mengatur pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dari dana APBD harus tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Keputusan Presiden ini.


BAB II
PENGADAAN YANG DILAKSANAKAN PENYEDIA BARANG/JASA

Bagian Pertama
Pembiayaan Pengadaan

Pasal 8
Departemen/Kementerian/Lembaga/TNI/Polri/Pemerintah Daerah/BI/BHMN/BUMN/BUMD wajib menyediakan biaya administrasi proyek untuk mendukung pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari APBN/APBD, yaitu:

a. honorarium pengguna barang/jasa, panitia/pejabat pengadaan, bendaharawan, dan staf proyek;
b. pengumuman pengadaan barang/jasa;
c. penggandaan dokumen pengadaan barang/jasa dan/atau dokumen prakualifikasi;

d. administrasi lainnya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pengadaan barang/jasa.


Bagian Kedua
Tugas Pokok dan Persyaratan Para Pihak

Paragraf Pertama
Persyaratan dan Tugas Pokok Pengguna Barang/Jasa

Pasal 9
(1) Pengguna barang/jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. memiliki integritas moral;
b. memiliki disiplin tinggi;

c. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya;
d. memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah;

e. memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, bertindak tegas dan keteladanan dalam sikap dan perilaku serta tidak pernah terlibat KKN.
(2) Berdasarkan usulan pimpinan unit kerja yang bersangkutan dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna barang/jasa diangkat dengan surat keputusan Menteri/Panglima TNI/Kapolri/Pemimpin Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN/BUMD atau pejabat yang diberi kuasa.
(3) Tugas pokok pengguna barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa adalah:

a. menyusun perencanaan pengadaan barang/jasa;
b. mengangkat panitia/pejabat pengadaan barang/jasa;

c. menetapkan paket-paket pekerjaan disertai ketentuan mengenai peningkatan penggunaan produksi dalam negeri dan peningkatan pemberian kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil, serta kelompok masyarakat;
d. menetapkan dan mengesahkan harga perkiraan sendiri (HPS), jadual, tata cara pelaksanaan dan lokasi pengadaan yang disusun panitia pengadaan;
e. menetapkan dan mengesahkan hasil pengadaan panitia/pejabat pengadaan sesuai kewenangannya;
f. menetapkan besaran uang muka yang menjadi hak penyedia barang/jasa sesuai ketentuan yang berlaku;
g. menyiapkan dan melaksanakan perjanjian/kontrak dengan pihak penyedia barang/jasa;
h. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada pimpinan instansinya;
i. mengendalikan pelaksanaan perjanjian/kontrak;

j. menyerahkan aset hasil pengadaan barang/jasa dan aset lainnya kepada Menteri/Panglima TNI/Kepala Polri/Pemimpin Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN/BUMD dengan berita acara penyerahan;
k. menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan barang/jasa dimulai.
(4) Pengguna barang/jasa dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang akan mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan/proyek yang dibiayai dari APBN/APBD.
(5) Pengguna barang/jasa bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya.


Paragraf Kedua
Pembentukan, Persyaratan, Tugas Pokok, dan Keanggotaan
Panitia/Pejabat Pengadaan

Pasal 10
(1) Panitia pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Untuk pengadaan sampai dengan nilai Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh panitia atau pejabat pengadaan.
(3) Anggota panitia pengadaan berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi teknis lainnya.
(4) Panitia/pejabat pengadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) di atas harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki integritas moral, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
b. memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan;

c. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat pengadaan yang bersangkutan;
d. memahami isi dokumen pengadaan/metoda dan prosedur pengadaan berdasarkan Keputusan Presiden ini;
e. tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat yang mengangkat dan menetapkannya sebagai panitia/pejabat pengadaan;
f. memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah.

(6) Panitia berjumlah gasal beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang yang memahami tata cara pengadaan, substansi pekerjaan/kegiatan yang bersangkutan dan bidang lain yang diperlukan, baik dari unsur-unsur di dalam maupun dari luar instansi yang bersangkutan.
(7) Pejabat pengadaan hanya 1 (satu) orang yang memahami tata cara pengadaan, substansi pekerjaan/kegiatan yang bersangkutan dan bidang lain yang diperlukan, baik dari unsur-unsur di dalam maupun dari luar instansi yang bersangkutan.
(8) Dilarang duduk sebagai panitia/pejabat pengadaan:

a. pengguna barang/jasa dan bendaharawan;

b. pegawai pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/Inspektorat Jenderal Departemen/Inspektorat Utama Lembaga Pemerintah Non Departemen/Badan Pengawas Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Pengawasan Internal BI/BHMN/BUMN/BUMD kecuali menjadi panitia/pejabat pengadaan untuk pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan instansinya.


Paragraf Ketiga
Persyaratan Penyedia Barang/Jasa

Pasal 11
(1) Persyaratan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan adalah sebagai berikut:
a. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha/kegiatan sebagai penyedia barang/jasa;
b. memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan barang/jasa;
c. tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana;
d. secara hukum mempunyai kapasitas menandatangani kontrak;

e. sebagai wajib pajak sudah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir, dibuktikan dengan melampirkan fotokopi bukti tanda terima penyampaian Surat Pajak Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) tahun terakhir, dan fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 29;
f. dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir pernah memper-oleh pekerjaan menyediakan barang/jasa baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak, kecuali penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;
g. memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan, dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;
h. tidak masuk dalam daftar hitam;
i. memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan pos;

j. khusus untuk penyedia barang/jasa orang perseorangan persyaratannya sama dengan di atas kecuali huruf f.(2)Tenaga ahli yang akan ditugaskan dalam melaksanakan pekerjaan jasa konsultansi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) dan bukti penyelesaian kewajiban pajak;
b. lulusan perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi swasta yang telah diakreditasi oleh instansi yang berwenang atau yang lulus ujian negara, atau perguruan tinggi luar negeri yang ijasahnya telah disahkan/diakui oleh instansi pemerintah yang berwenang di bidang pendidikan tinggi;
c. mempunyai pengalaman di bidangnya.

(3) Pegawai negeri, pegawai BI, pegawai BHMN/BUMN/BUMD dilarang menjadi penyedia barang/jasa, kecuali yang bersangkutan mengambil cuti di luar tanggungan negara/BI/BHMN/BUMN/ BUMD.
(4) Penyedia barang/jasa yang keikutsertaannya menimbulkan pertentangan kepentingan dilarang menjadi penyedia barang/jasa.
(5) Terpenuhinya persyaratan penyedia barang/jasa dinilai melalui proses prakualifikasi atau pascakualifikasi oleh panitia/pejabat pengadaan.


Bagian Ketiga
Jadual Pelaksanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa

Pasal 12
Pengguna barang/jasa wajib mengalokasikan waktu yang cukup untuk penayangan pengumuman, kesempatan untuk pengambilan dokumen, kesempatan untuk mempelajari dokumen, dan penyiapan dokumen penawaran.


Bagian Keempat
Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri

Pasal 13
(1) Pengguna barang/jasa wajib memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertangungjawabkan.
(2) HPS disusun oleh panitia/pejabat pengadaan dan ditetapkan oleh pengguna barang/jasa.
(3) HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran.
(4) Nilai total HPS terbuka dan tidak bersifat rahasia.

(5) HPS merupakan salah satu acuan dalam menentukan tambahan nilai jaminan.


Bagian Kelima
Prakualifikasi dan Pascakualifikasi

Paragraf Pertama
Prinsip-Prinsip Prakualifikasi dan Pascakualifikasi

Pasal 14
(1) Prakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa sebelum memasukkan penawaran.
(2) Pascakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa setelah memasukkan penawaran.
(3) Panitia/pejabat pengadaan wajib melakukan pascakualifikasi untuk pelelangan umum pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya secara adil, transparan, dan mendorong terjadinya persaingan yang sehat dengan mengikutsertakan sebanyak-banyaknya penyedia barang/jasa.
(4) Prakualifikasi wajib dilaksanakan untuk pengadaan jasa konsultansi dan pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya yang menggunakan metoda penunjukan langsung untuk pekerjaan kompleks, pelelangan terbatas dan pemilihan langsung.
(5) Panitia/pejabat pengadaan dapat melakukan prakualifikasi untuk pelelangan umum pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya yang bersifat kompleks.
(6) Dalam proses prakualifikasi/pascakualifikasi panitia/pejabat pengadaan dilarang menambah persyaratan prakualifikasi/pascakualifikasi di luar yang telah ditetapkan dalam ketentuan Keputusan Presiden ini atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
(7) Persyaratan prakualifikasi/pascakualifikasi yang ditetapkan harus merupakan persyaratan minimal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan agar terwujud persaingan yang sehat secara luas.
(8) Pengguna barang/jasa wajib menyederhanakan proses prakualifikasi dengan tidak meminta seluruh dokumen yang disyaratkan melainkan cukup dengan formulir isian kualifikasi penyedia barang/jasa.
(9) Penyedia barang/jasa wajib menandatangani surat pernyataan di atas meterai bahwa semua informasi yang disampaikan dalam formulir isian kualifikasi adalah benar, dan apabila diketemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan, terhadap yang bersangkutan dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang, dimasukkan dalam daftar hitam sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, dan tidak boleh mengikuti pengadaan untuk 2 (dua) tahun berikutnya, serta diancam dituntut secara perdata dan pidana.
(10) Dalam proses prakualifikasi/pascakualifikasi panitia/pejabat pengadaan tidak boleh melarang, menghambat, dan membatasi keikutsertaan calon peserta pengadaan barang/jasa dari luar propinsi/kabupaten/kota lokasi pengadaan barang/jasa.
(11) Departemen/Kementerian/Lembaga/TNI/Polri/Pemerintah/Daerah/BI/BHMN/BUMN/BUMD dilarang melakukan prakualifikasi massal yang berlaku untuk pengadaan dalam kurun waktu tertentu.
(12) Pada setiap tahapan proses pemilihan penyedia barang/jasa, pengguna barang/jasa/panitia/pejabat pengadaan dilarang membebani atau memungut biaya apapun kepada penyedia barang/jasa, kecuali biaya penggandaan dokumen pengadaan.


Paragraf Kedua
Proses Prakualifikasi dan Pascakualifikasi

Pasal 15
(1) Proses prakualifikasi secara umum meliputi pengumuman prakualifikasi, pengambilan dokumen prakualifikasi, pemasukan dokumen prakualifikasi, evaluasi dokumen prakualifikasi, penetapan calon peserta pengadaan yang lulus prakualifikasi, dan pengumuman hasil prakualifikasi.
(2) Proses pascakualifikasi secara umum meliputi pemasukan dokumen kualifikasi bersamaan dengan dokumen penawaran dan terhadap peserta yang diusulkan untuk menjadi pemenang serta cadangan pemenang dievaluasi dokumen kualifikasinya.


Bagian Keenam
Prinsip Penetapan Sistem Pengadaan

Pasal 16
(1) Untuk menentukan sistem pengadaan yang meliputi metoda pemilihan penyedia barang/jasa, metoda penyampaian dokumen penawaran, metoda evaluasi penawaran, dan jenis kontrak, perlu mempertimbangkan jenis, sifat, dan nilai barang/jasa serta kondisi lokasi, kepentingan masyarakat, dan jumlah penyedia barang/jasa yang ada.
(2) Dalam menyusun rencana dan penentuan paket pengadaan, pengguna barang/jasa bersama dengan panitia, wajib memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dan perluasan kesempatan bagi usaha kecil, koperasi kecil, dan masyarakat.
(3) Dalam menetapkan sistem pengadaan, pengguna barang/jasa:

a. wajib menyediakan sebanyak-banyaknya paket pengadaan untuk usaha kecil termasuk koperasi kecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem, kualitas, dan kemampuan teknis usaha kecil;
b. dilarang menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di daerah masing-masing;
c. dilarang menyatukan beberapa paket pekerjaan yang menurut sifat pekerjaan dan besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh usaha kecil termasuk koperasi kecil;
d. dilarang menetapkan kriteria dan persyaratan pengadaan yang diskriminatif dan tidak obyektif.


Bagian Ketujuh
Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya

Paragraf Pertama
Metoda Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya

Pasal 17
(1) Dalam pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya, pada prinsipnya dilakukan melalui metoda pelelangan umum.
(2) Pelelangan umum adalah metoda pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.
(3) Dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampu melaksanakan diyakini terbatas yaitu untuk pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metoda pelelangan terbatas dan diumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.
(4) Dalam hal metoda pelelangan umum atau pelelangan terbatas dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metoda pemilihan langsung, yaitu pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet.
(5) Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.


Paragraf Kedua
Metoda Penyampaian Dokumen Penawaran Pada Pemilihan Penyedia
Barang/Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya

Pasal 18
(1) Dalam pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dapat dipilih salah 1 (satu) dari 3 (tiga) metoda penyampaian dokumen penawaran berdasarkan jenis barang/jasa yang akan diadakan dan metoda penyampaian dokumen penawaran tersebut harus dicantumkan dalam dokumen lelang yang meliputi:
a. metoda satu sampul;
b. metoda dua sampul;
c. metoda dua tahap.

(2) Metoda satu sampul yaitu penyampaian dokumen penawaran yang terdiri dari persyaratan administrasi, teknis, dan penawaran harga yang dimasukan ke dalam 1 (satu) sampul tertutup kepada panitia/pejabat pengadaan.
(3) Metoda dua sampul yaitu penyampaian dokumen penawaran yang persyaratan administrasi dan teknis dimasukkan dalam sampul tertutup I, sedangkan harga penawaran dimasukkan dalam sampul tertutup II, selanjutnya sampul I dan sampul II dimasukkan ke dalam 1 (satu) sampul (sampul penutup) dan disampaikan kepada panitia/pejabat pengadaan.
(4) Metoda dua tahap yaitu penyampaian dokumen penawaran yang persyaratan administrasi dan teknis dimasukkan dalam sampul tertutup I, sedangkan harga penawaran dimasukkan dalam sampul tertutup II, yang penyampaiannya dilakukan dalam 2 (dua) tahap secara terpisah dan dalam waktu yang berbeda.


Paragraf Ketiga
Evaluasi Penawaran Pada Pemilihan Penyedia Barang/Jasa
Pemborongan/Jasa Lainnya

Pasal 19
(1) Dalam pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dapat dipilih salah 1 (satu) dari 3 (tiga) metoda evaluasi penawaran berdasarkan jenis barang/jasa yang akan diadakan, dan metoda evaluasi penawaran tersebut harus dicantumkan dalam dokumen lelang, yang meliputi:
a. sistem gugur;
b. sistem nilai;
c. sistem penilaian biaya selama umur ekonomis.

(2) Sistem gugur adalah evaluasi penilaian penawaran dengan cara memeriksa dan membandingkan dokumen penawaran terhadap pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa dengan urutan proses evaluasi dimulai dari penilaian persyaratan administrasi, persyaratan teknis dan kewajaran harga, terhadap penyedia barang/jasa yang tidak lulus penilaian pada setiap tahapan dinyatakan gugur.
(3) Sistem nilai adalah evaluasi penilaian penawaran dengan cara memberikan nilai angka tertentu pada setiap unsur yang dinilai berdasarkan kriteria dan nilai yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, kemudian membandingkan jumlah nilai dari setiap penawaran peserta dengan penawaran peserta lainnya.
(4) Sistem penilaian biaya selama umur ekonomis adalah evaluasi penilaian penawaran dengan cara memberikan nilai pada unsur-unsur teknis dan harga yang dinilai menurut umur ekonomis barang yang ditawarkan berdasarkan kriteria dan nilai yang ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, kemudian nilai unsur-unsur tersebut dikonversikan ke dalam satuan mata uang tertentu, dan dibandingkan dengan jumlah nilai dari setiap penawaran peserta dengan penawaran peserta lainnya.
(5) Dalam mengevaluasi dokumen penawaran, panitia/pejabat pemilihan penyedia barang/jasa tidak diperkenankan mengubah, menambah, dan mengurangi kriteria dan tatacara evaluasi tersebut dengan alasan apapun dan atau melakukan tindakan lain yang bersifat post bidding.


Paragraf Keempat
Prosedur Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya

Pasal 20
(1) Prosedur pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dengan metoda pelelangan umum meliputi:
a. dengan prakualifikasi:

1) pengumuman prakualifikasi;
2) pengambilan dokumen prakualifikasi;
3) pemasukan dokumen prakualifikasi;
4) evaluasi dokumen prakualifikasi;
5) penetapan hasil prakualifikasi;
6) pengumuman hasil prakualifikasi;
7) masa sanggah prakualifikasi;
8) undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi;
9) pengambilan dokumen lelang umum;
10) penjelasan;
11) penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya;
12) pemasukan penawaran;
13) pembukaan penawaran;
14) evaluasi penawaran;
15) penetapan pemenang;
16) pengumuman pemenang;
17) masa sanggah;
18) penunjukan pemenang;
19) penandatanganan kontrak;

b. dengan pasca kualifikasi:

1) pengumuman pelelangan umum;
2) pendaftaran untuk mengikuti pelelangan;
3) pengambilan dokumen lelang umum;
4) penjelasan;
5) penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya;
6) pemasukan penawaran;
7) pembukaan penawaran;
8) evaluasi penawaran termasuk evaluasi kualifikasi;
9) penetapan pemenang;
10) pengumuman pemenang;
11) masa sanggah;
12) penunjukan pemenang;
13) penandatanganan kontrak.

(2) Prosedur pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dengan metoda pelelangan terbatas meliputi:
a. pemberitahuan dan konfirmasi kepada peserta terpilih;
b. pengumuman pelelangan terbatas;
c. pengambilan dokumen prakualifikasi;
d. pemasukan dokumen prakualifikasi;
e. evaluasi dokumen prakualifikasi;
f. penetapan hasil prakualifikasi;
g. pemberitahuan hasil prakualifikasi;
h. masa sanggah prakualifikasi;
i. undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi;
j. penjelasan;
k. penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya;
l. pemasukan penawaran;
m. pembukaan penawaran;
n. evaluasi penawaran;
o. penetapan pemenang;
p. pengumuman pemenang;
q. masa sanggah;
r. penunjukan pemenang;
s. penandatanganan kontrak.

(3) Prosedur pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dengan metoda pemilihan langsung meliputi:
a. pengumuman pemilihan langsung;
b. pengambilan dokumen prakualifikasi;
c. pemasukan dokumen prakualifikasi
d. evaluasi dokumen prakualifikasi;
e. penetapan hasil prakualifikasi;
f. pemberitahuan hasil prakualifikasi;
g. masa sanggah prakualifikasi;
h. undangan pengambilan dokumen pemilihan langsung;
i. penjelasan;
j. penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya;
k. pemasukan penawaran;
l. pembukaan penawaran;
m. evaluasi penawaran;
n. penetapan pemenang;
o. pemberitahuan penetapan pemenang;
p. masa sanggah;
q. penunjukan pemenang;
r. penandatanganan kontrak.

(4) Tata cara pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dengan metoda penunjukan langsung meliputi:
a. undangan kepada peserta terpilih;
b. pengambilan dokumen prakualifikasi dan dokumen penunjukan langsung;

c. pemasukan dokumen prakualifikasi, penilaian kualifikasi, penjelasan, dan pembuatan berita acara penjelasan;
d. pemasukan penawaran;
e. evaluasi penawaran;
f. negosiasi baik teknis maupun biaya;
g. penetapan/penunjukan penyedia barang/jasa;
h. penandatanganan kontrak.



Bagian Kedelapan
Sistem Pengadaan Jasa Konsultansi

Paragraf Pertama
Persiapan Pelaksanaan Pemilihan Jasa Konsultansi

Pasal 21
(1) Pengguna barang/jasa menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan menunjuk panitia pengadaan/pejabat pengadaan.
(2) Panitia/pejabat pengadaan menyusun harga perkiraan sendiri (HPS) dan dokumen pemilihan penyedia jasa konsultansi meliputi KAK, syarat administrasi, syarat teknis, syarat keuangan, metoda pemilihan penyedia jasa konsultansi, metoda penyampaian dokumen penawaran, metoda evaluasi penawaran, dan jenis kontrak yang akan digunakan.


Paragraf Kedua
Metoda Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi

Pasal 22
(1) Pemilihan penyedia jasa konsultansi pada prinsipnya harus dilakukan melalui seleksi umum. Dalam keadaan tertentu pemilihan penyedia jasa konsultansi dapat dilakukan melalui seleksi terbatas, seleksi langsung atau penunjukan langsung.
(2) Seleksi umum adalah metoda pemilihan penyedia jasa konsultansi yang daftar pendek pesertanya dipilih melalui proses prakualifikasi secara terbuka yaitu diumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas mengetahui dan penyedia jasa konsultansi yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.
(3) Seleksi terbatas adalah metoda pemilihan penyedia jasa konsultansi untuk pekerjaan yang kompleks dan diyakini jumlah penyedia jasa yang mampu melaksanakan pekerjaan tersebut jumlahnya terbatas.
(4) Dalam hal metoda seleksi umum atau seleksi terbatas dinilai tidak efisien dari segi biaya seleksi, maka pemilihan penyedia jasa konsultansi dapat dilakukan dengan seleksi langsung yaitu metoda pemilihan penyedia jasa konsultansi yang daftar pendek pesertanya ditentukan melalui proses prakualifikasi terhadap penyedia jasa konsultansi yang dipilih langsung dan diumumkan sekurang-kurangnya di papan pengumuman resmi untuk penerangan umum atau media elektronik (internet).
(5) Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia jasa konsultansi dapat dilakukan dengan menunjuk satu penyedia jasa konsultansi yang memenuhi kualifikasi dan dilakukan negosiasi baik dari segi teknis maupun biaya sehingga diperoleh biaya yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.


Paragraf Ketiga
Metoda Penyampaian Dokumen Penawaran
Pada Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi

Pasal 23
(1) Dalam pemilihan penyedia jasa konsultansi dapat dipilih salah 1 (satu) dari 3 (tiga) metoda penyampaian dokumen penawaran berdasarkan jenis jasa konsultansi yang akan diadakan dan harus dicantumkan dalam dokumen seleksi.
(2) Metoda penyampaian dokumen penawaran jasa konsultansi meliputi:

a. metoda satu sampul;
b. metoda dua sampul;
c. metoda dua tahap.



Paragraf Keempat
Metoda Evaluasi Penawaran
Untuk Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi

Pasal 24
(1) Dalam pemilihan penyedia jasa konsultansi dapat dipilih salah 1 (satu) dari 5 (lima) metoda evaluasi penawaran berdasarkan jenis jasa konsultansi yang akan diadakan dan harus dicantumkan dalam dokumen seleksi, yaitu:
a. metoda evaluasi kualitas;
b. metoda evaluasi kualitas dan biaya;
c. metoda evaluasi pagu anggaran;
d. metoda evaluasi biaya terendah;
e. metoda evaluasi penunjukan langsung.

(2) Metoda evaluasi kualitas adalah evaluasi penawaran jasa konsultansi berdasarkan kualitas penawaran teknis terbaik, dilanjutkan dengan klarifikasi dan negosiasi teknis serta biaya.
(3) Metoda evaluasi kualitas dan biaya adalah evaluasi pengadaan jasa konsultansi berdasarkan nilai kombinasi terbaik penawaran teknis dan biaya terkoreksi dilanjutkan dengan klarifikasi dan negosiasi teknis serta biaya.
(4) Metoda evaluasi pagu anggaran adalah evaluasi pengadaan jasa konsultansi berdasarkan kualitas penawaran teknis terbaik dari peserta yang penawaran biaya terkoreksinya lebih kecil atau sama dengan pagu anggaran, dilanjutkan dengan klarifikasi dan negosiasi teknis serta biaya.
(5) Metoda evaluasi biaya terendah adalah evaluasi pengadaan jasa konsultansi berdasarkan penawaran biaya terkoreksinya terendah dari konsultan yang nilai penawaran teknisnya di atas ambang batas persyaratan teknis yang telah ditentukan, dilanjutkan dengan klarifikasi dan negosiasi teknis serta biaya.
(6) Metoda evaluasi penunjukan langsung adalah evaluasi terhadap hanya satu penawaran jasa konsultansi berdasarkan kualitas teknis yang dapat dipertanggungjawabkan dan biaya yang wajar setelah dilakukan klarifikasi dan negosiasi teknis dan biaya.


Paragraf Kelima
Prosedur Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi

Pasal 25
(1) Prosedur pemilihan penyedia jasa konsultansi dengan metoda seleksi umum meliputi:
a. metoda evaluasi kualitas, metoda dua sampul:

1) pengumuman prakualifikasi;
2) pengambilan dokumen prakualifikasi;
3) pemasukan dokumen prakualifikasi;
4) evaluasi prakualifikasi;
5) penetapan hasil prakualifikasi;
6) pengumuman hasil prakualifikasi;
7) masa sanggah prakualifikasi;
8) undangan kepada konsultan yang masuk daftar pendek;
9) pengambilan dokumen seleksi umum;
10) penjelasan;
11) penyusunan berita acara penjelasan dokumen seleksi dan perubahaannya;
12) pemasukan penawaran;
13) pembukaan penawaran administrasi dan teknis (sampul I);
14) evaluasi administrasi dan teknis;
15) penetapan peringkat teknis;
16) pemberitahuan/pengumuman peringkat teknis (pemenang);
17) masa sanggah;
18) pembukaan penawaran harga (sampul II) peringkat teknis terbaik;
19) klarifikasi dan negosiasi teknis dan biaya;
20) penunjukan pemenang;
21) penandatanganan kontrak;

b. metoda evaluasi kualitas, metoda dua tahap:

1) pengumuman prakualifikasi;
2) pengambilan dokumen prakualifikasi;
3) pemasukan dokumen prakualifikasi;
4) evaluasi prakualifikasi;
5) penetapan hasil prakualifikasi;
6) pengumuman hasil prakualifikasi;
7) masa sanggah prakualifikasi;
8) undangan kepada konsultan yang masuk daftar pendek;
9) pengambilan dokumen seleksi umum;
10) penjelasan;
11) penyusunan berita acara penjelasan dokumen seleksi dan perubahaannya;
12) tahap I, pemasukan penawaran administrasi dan teknis;
13) pembukaan penawaran administrasi dan teknis;
14) evaluasi administrasi dan teknis;
15) penetapan peringkat teknis;
16) pemberitahuan/pengumuman peringkat teknis (pemenang);
17) masa sanggah;

18) tahap II, mengundang peringkat teknis terbaik (pemenang) untuk memasukkan penawaran biaya;
19) pemasukan penawaran biaya;
20) pembukaan penawaran biaya;
21) klarifikasi dan negosiasi teknis dan biaya;
22) penunjukan pemenang;
23) penandatanganan kontrak;

c. metoda evaluasi kualitas dan biaya, metoda dua sampul:

1) pengumuman prakualifikasi;
2) pengambilan dokumen prakualifikasi;
3) pemasukan dokumen prakualifikasi;
4) evaluasi prakualifikasi;
5) penetapan hasil prakualifikasi;
6) pengumuman hasil prakualifikasi;
7) masa sanggah prakualifikasi;
8) undangan kepada konsultan yang masuk daftar pendek;
9) pengambilan dokumen seleksi umum;
10) penjelasan;
11) penyusunan berita acara penjelasan dokumen seleksi dan perubahaannya;
12) pemasukan penawaran;
13) pembukaan penawaran administrasi dan teknis (sampul I);
14) evaluasi administrasi dan teknis;
15) penetapan peringkat teknis;
16) pemberitahuan/pengumuman peringkat teknis;
17) undangan pembukaan penawaran kepada peserta yang lulus evaluasi teknis;
18) pembukaan penawaran biaya (sampul II);
19) evaluasi biaya;
20) perhitungan kombinasi teknis dan biaya;
21) penetapan pemenang;
22) pengumuman pemenang;
23) masa sanggah;
24) klarifikasi dan negosiasi teknis serta biaya dengan pemenang;
25) penunjukan pemenang;
26) penandatanganan kontrak;

d. metoda evaluasi pagu anggaran, metoda dua sampul:

1) pengumuman prakualifikasi;
2) pengambilan dokumen prakualifikasi;
3) pemasukan dokumen prakualifikasi;
4) evaluasi prakualifikasi;
5) penetapan hasil prakualifikasi;
6) pengumuman hasil prakualifikasi;
7) masa sanggah prakualifikasi;
8) undangan kepada konsultan yang masuk daftar pendek;
9) penjelasan;
10) penyusunan berita acara penjelasan dokumen seleksi dan perubahaannya;
11) pemasukan penawaran;
12) pembukaan penawaran administrasi dan teknis (sampul I);

13) evaluasi administrasi dan teknis; terhadap yang penawaran biayanya sama atau di bawah pagu anggaran;
14) penetapan peringkat teknis;
15) pengumuman/pemberitahuan peringkat teknis;
16) masa sanggah;

17) undangan pembukaan penawaran biaya kepada peserta yang lulus evaluasi teknis;
18) pembukaan penawaran biaya (sampul II), koreksi aritmatik, dan penetapan pemenang;
19) klarifikasi dan konfirmasi negosiasi teknis dan biaya dengan pemenang (peringkat teknis terbaik yang penawaran biayanya sama atau di bawah pagu anggaran);
20) penunjukan pemenang (award);
21) penandatanganan kontrak;

e. metoda evaluasi biaya terendah, metoda dua sampul:

1) pengumuman prakualifikasi;
2) pengambilan dokumen prakualifikasi;
3) pemasukan dokumen prakualifikasi;
4) evaluasi prakualifikasi;
5) penetapan hasil prakualifikasi;
6) pengumuman hasil prakualifikasi;
7) masa sanggah prakualifikasi;
8) undangan kepada konsultan yang masuk daftar pendek;
9) pengambilan dokumen seleksi umum;
10) penjelasan;
11) penyusunan berita acara penjelasan dokumen seleksi dan perubahaannya;
12) pemasukan penawaran;
13) pembukaan penawaran administrasi dan teknis (sampul I);
14) evaluasi administrasi dan teknis;
15) pengumuman/pemberitahuan hasil evaluasi administrasi dan teknis;
16) undangan pembukaan penawaran bagi yang lulus;
17) pembukaan penawaran biaya (sampul II);
18) evaluasi penawaran biaya;
19) penetapan pemenang;
20) pengumuman pemenang;
21) masa sanggah;
22) klarifikasi dan negosiasi teknis dan biaya dengan pemenang;
23) penunjukan pemenang;
24) penandatanganan kontrak.

(2) Prosedur pemilihan penyedia jasa konsultansi dengan metoda seleksi terbatas dan seleksi langsung pada prinsipnya sama dengan prosedur pemilihan penyedia jasa konsultansi dengan metoda seleksi umum, hanya berbeda pada cara penyusunan daftar pendek.
(3) Tata cara pemilihan penyedia jasa konsultansi dengan metoda penunjukan langsung meliputi:
a. undangan kepada konsultan terpilih dilampiri dokumen prakualifikasi dan dokumen penunjukan langsung;
b. pemasukan dan evaluasi dokumen prakualifikasi serta penjelasan;
c. pemasukan penawaran administrasi, teknis, dan biaya dalam satu sampul;
d. pembukaan dan evaluasi penawaran oleh panitia;
e. klarifikasi dan negosiasi teknis dan biaya;
f. penetapan/penunjukan penyedia jasa konsultansi;
g. penandatanganan kontrak.



Bagian Kesembilan
Pejabat yang Berwenang Menetapkan
Penyedia Barang/Jasa

Pasal 26
Pejabat yang berwenang menetapkan penyedia barang/jasa adalah:

a. Pengguna barang/jasa untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) tanpa memerlukan persetujuan Menteri/Panglima TNI/Kepala Polri/Pemimpin Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN/BUMD, pejabat atasan pengguna barang/jasa yang bersangkutan.
b. Menteri/Panglima TNI/Kepala Polri/Pemimpin Lembaga/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN untuk pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari dana APBN yang bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
c. Gubernur untuk pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari dana APBD Propinsi yang bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
d. Bupati/Walikota untuk pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari dana APBD Kabupaten/Kota yang bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
e. Direksi BUMD untuk pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari dana APBN/APBD yang bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dengan persetujuan Gubernur/Walikota/ Bupati.


Bagian Kesepuluh
Sanggahan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa, Pengaduan Masyarakat, dan
Pelelangan atau Seleksi Gagal

Paragraf Pertama
Sanggahan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dan Pengaduan Masyarakat

Pasal 27
(1) Peserta pemilihan penyedia barang/jasa yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya, dapat mengajukan surat sanggahan kepada pengguna barang/jasa apabila ditemukan:
a. penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa;
b. rekayasa tertentu sehingga menghalangi terjadinya persaingan yang sehat;

c. penyalahgunaan wewenang oleh panitia/pejabat pengadaan dan/atau pejabat yang berwenang lainnya;
d. adanya unsur KKN di antara peserta pemilihan penyedia barang/jasa;

e. adanya unsur KKN antara peserta dengan anggota panitia/ pejabat pengadaan dan/atau dengan pejabat yang berwenang lainnya.
(2) Pengguna barang/jasa wajib memberikan jawaban selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak surat sanggahan diterima.
(3) Apabila penyedia barang/jasa tidak puas terhadap jawaban pengguna barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka dapat mengajukan surat sanggahan banding.
(4) Surat sanggahan banding disampaikan kepada Menteri/Panglima TNI/Kepala Polri/Pemimpin Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN/BUMD selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya jawaban atas sanggahan tersebut.
(5) Menteri/Panglima TNI/Kepala Polri/Pemimpin Lembaga/ Gubernur/Bupati/Walikota/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN/ BUMD wajib memberikan jawaban selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sejak surat sanggahan banding diterima.
(6) Proses pemilihan penyedia barang/jasa tetap dilanjutkan tanpa menunggu jawaban atas sanggahan banding.
(7) Apabila sanggahan banding ternyata benar, maka proses pemilihan penyedia barang/jasa dievaluasi kembali atau dilakukan proses pemilihan ulang, atau dilakukan pembatalan kontrak.
(8) Setiap pengaduan harus ditindaklanjuti oleh instansi/pejabat yang menerima pengaduan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Paragraf Kedua
Pelelangan/Seleksi Ulang

Pasal 28
(1) Pelelangan umum dan terbatas dinyatakan gagal oleh panitia/pejabat pengadaan, apabila:
a. jumlah penyedia barang/jasa yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta; atau
b. tidak ada penawaran yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis; atau
c. harga penawaran terendah lebih tinggi dari pagu anggaran yang tersedia.

(2) Seleksi umum dan terbatas dinyatakan gagal oleh panitia/pejabat pengadaan, apabila:
a. jumlah penyedia jasa konsultansi yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta; atau
b. tidak ada penawaran yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis; atau

c. negosiasi atas harga penawaran gagal karena tidak ada peserta yang menyetujui/menyepakati klarifikasi dan negosiasi.
(3) Pelelangan/seleksi dinyatakan gagal oleh pengguna barang/jasa atau pejabat berwenang lainnya apabila:
a. sanggahan dari penyedia barang/jasa ternyata benar;

b. pelaksanaan pelelangan/seleksi tidak sesuai atau menyimpang dari dokumen pengadaan yang telah ditetapkan.
(4) Apabila pelelangan/seleksi dinyatakan gagal, maka panitia/pejabat pengadaan segera melakukan pelelangan/seleksi ulang.
(5) Apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang/jasa yang lulus prakualifikasi hanya 2 (dua) maka dilakukan permintaan penawaran dan negosiasi seperti pada proses pemilihan langsung.
(6) Apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang/jasa yang memasukkan penawaran hanya 2 (dua) maka dilakukan negosiasi seperti pada proses pemilihan langsung.
(7) Apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang/jasa yang lulus prakualifikasi hanya 1 (satu) maka dilakukan permintaan penawaran dan negosiasi seperti pada proses penunjukan langsung.
(8) Apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang/jasa yang memasukkan penawaran hanya 1 (satu) maka dilakukan negosiasi seperti pada proses penunjukan langsung.
(9) Apabila dalam seleksi umum/terbatas ulang, jumlah penyedia jasa konsultansi yang lulus prakualifikasi hanya 2 (dua) maka dilakukan permintaan penawaran dan negosiasi seperti pada proses seleksi langsung.
(10) Apabila dalam seleksi umum/terbatas ulang, jumlah penyedia jasa konsultansi yang memasukkan penawaran hanya 2 (dua) maka dilakukan negosiasi seperti pada proses seleksi langsung.
(11) Apabila dalam seleksi umum/terbatas ulang, jumlah penyedia jasa konsultansi yang lulus prakualifikasi hanya 1 (satu) maka dilakukan permintaan penawaran dan negosiasi seperti pada proses penunjukan langsung.
(12) Apabila dalam seleksi umum/terbatas ulang, jumlah penyedia jasa konsultansi yang memasukkan penawaran hanya 1 (satu) maka dilakukan negosiasi seperti pada proses penunjukan langsung.
(13) Pengguna barang/jasa dilarang memberikan ganti rugi kepada peserta lelang/seleksi bila penawarannya ditolak atau pelelangan/seleksi dinyatakan gagal.


Bagian Kesebelas
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

Paragraf Pertama
Isi Kontrak

Pasal 29
(1) Kontrak sekurang-kurangnya memuat ketentuan sebagai berikut:

a. para pihak yang menandatangani kontrak yang meliputi nama, jabatan, dan alamat;
b. pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis dan jumlah barang/jasa yang diperjanjikan;
c. hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian;
d. nilai atau harga kontrak pekerjaan, serta syarat-syarat pembayaran;
e. persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terinci;

f. tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan dengan disertai jadual waktu penyelesaian/penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahannya;
g. jaminan teknis/hasil pekerjaan yang dilaksanakan dan/atau ketentuan mengenai kelaikan;
h. ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya;
i. ketentuan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak;
j. ketentuan mengenai keadaan memaksa;

k. ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan;
l. ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja;
m. ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan;
n. ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan.

(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah adalah peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
(3) Perjanjian/kontrak untuk pengadaan barang/jasa di dalam negeri tidak dapat dilakukan dalam bentuk valuta asing.
(4) Perjanjian/kontrak dalam bentuk valuta asing tidak dapat membebani dana rupiah murni;
(5) Perjanjian atau kontrak dalam bentuk valuta asing tidak dapat diubah dalam bentuk rupiah dan sebaliknya kontrak dalam bentuk rupiah tidak dapat diubah dalam bentuk valuta asing.
(6) Pengecualian terhadap ketentuan ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Pasal ini harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran.


Paragraf Kedua
Jenis Kontrak

Pasal 30
(1) Kontrak pengadaan barang/jasa dibedakan atas:

a. berdasarkan bentuk imbalan:

1) lumpsum;
2) harga satuan;
3) gabungan lump sum dan harga satuan;
4) terima jadi (turn key);
5) persentase.

b. berdasarkan jangka waktu pelaksanaan:

1) tahun tunggal;
2) tahun jamak.

c. berdasarkan jumlah pengguna barang/jasa:

1) kontrak pengadaan tunggal;
2) kontrak pengadaan bersama.

(2) Kontrak lump sum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua resiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa.
(3) Kontrak harga satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.
(4) Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan.
(5) Kontrak terima jadi adalah kontrak pengadaan barang/jasa pemborongan atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.
(6) Kontrak persentase adalah kontrak pelaksanaan jasa konsultansi di bidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, dimana konsultan yang bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/ pemborongan tersebut.
(7) Kontrak tahun tunggal adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa 1 (satu) tahun anggaran.
(8) Kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.
(9) Kontrak pengadaan tunggal adalah kontrak antara satu unit kerja atau satu proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.
(10) Kontrak pengadaan bersama adalah kontrak antara beberapa unit kerja atau beberapa proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama.


Paragraf Ketiga
Penandatanganan Kontrak

Pasal 31
(1) Para pihak menandatangani kontrak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya surat keputusan penetapan penyedia barang/jasa dan setelah penyedia barang/jasa menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5% (lima persen) dari nilai kontrak kepada pengguna barang/jasa.
(2) Untuk pekerjaan jasa konsultansi tidak diperlukan jaminan pelaksanaan.

(3) Untuk pengadaan dengan nilai di bawah Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) bentuk kontrak cukup dengan kuitansi pembayaran dengan meterai secukupnya.
(4) Untuk pengadaan dengan nilai di atas Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), bentuk kontrak berupa Surat Perintah Kerja (SPK) tanpa jaminan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).(5)Untuk pengadaan dengan nilai di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), bentuk kontrak berupa kontrak pengadaan barang/jasa (KPBJ) dengan jaminan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).(6)Dalam melakukan perikatan, para pihak sedapat mungkin menggunakan standar kontrak atau contoh SPK yang dikeluarkan pimpinan instansi yang bersangkutan atau instansi lainnya.
(7) Kontrak untuk pekerjaan barang/jasa yang bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) ditandatangani oleh pengguna barang/jasa setelah memperoleh pendapat ahli hukum kontrak yang profesional.


Paragraf Keempat
Hak dan Tanggung Jawab Para Pihak
dalam Pelaksanaan Kontrak

Pasal 32
(1) Setelah penandatanganan kontrak, pengguna barang/jasa segera melakukan pemeriksaan lapangan bersama-sama dengan penyedia barang/jasa dan membuat berita acara keadaan lapangan/serah terima lapangan.
(2) Penyedia barang/jasa dapat menerima uang muka dari pengguna barang/jasa.

(3) Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain.
(4) Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab sebagian pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun, kecuali disub-kontrakkan kepada penyedia barang/jasa spesialis.
(5) Terhadap pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak.


Paragraf Kelima
Pembayaran Uang Muka dan
Prestasi Pekerjaan

Pasal 33
(1) Uang muka dapat diberikan kepada penyedia barang/jasa sebagai berikut:

a. Untuk usaha kecil setinggi-tingginya 30% (tiga puluh persen) dari nilai kontrak;
b. Untuk usaha selain usaha kecil setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) dari nilai kontrak.
(2) Pembayaran prestasi pekerjaan dilakukan dengan sistem sertifikat bulanan atau sistem termin, dengan memperhitungkan angsuran uang muka dan kewajiban pajak.


Paragraf Keenam
Perubahan Kontrak

Pasal 34
Perubahan kontrak dilakukan sesuai kesepakatan pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa (para pihak) apabila terjadi perubahan lingkup pekerjaan, metoda kerja, atau waktu pelaksanaan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Paragraf Ketujuh
Penghentian dan Pemutusan Kontrak

Pasal 35
(1) Penghentian kontrak dilakukan bilamana terjadi hal-hal di luar kekuasaan para pihak untuk melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, yang disebabkan oleh timbulnya perang, pemberontakan, perang saudara, sepanjang kejadian-kejadian tersebut berkaitan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kekacauan dan huru hara serta bencana alam yang dinyatakan resmi oleh pemerintah, atau keadaan yang ditetapkan dalam kontrak.
(2) Pemutusan kontrak dapat dilakukan bilamana para pihak cidera janji dan/atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur di dalam kontrak.
(3) Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian penyedia barang/jasa dikenakan sanksi sesuai yang ditetapkan dalam kontrak berupa:
a. jaminan pelaksanaan menjadi milik negara;
b. sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa;
c. membayar denda dan ganti rugi kepada negara;
d. pengenaan daftar hitam untuk jangka waktu tertentu.

(4) Pengguna barang/jasa dapat memutuskan kontrak secara sepihak apabila denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan penyedia barang/jasa sudah melampaui besarnya jaminan pelaksanaan.
(5) Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kesalahan pengguna barang/jasa, dikenakan sanksi berupa kewajiban mengganti kerugian yang menimpa penyedia barang/jasa sesuai yang ditetapkan dalam kontrak dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Kontrak batal demi hukum apabila isi kontrak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(7) Kontrak dibatalkan apabila para pihak terbukti melakukan KKN, kecurangan, dan pemalsuan dalam proses pengadaan maupun pelaksanaan kontrak.


Paragraf Kedelapan
Serah Terima Pekerjaan

Pasal 36
(1) Setelah pekerjaan selesai 100% (seratus persen) sesuai dengan yang tertuang dalam kontrak, penyedia barang/jasa mengajukan permintaan secara tertulis kepada pengguna barang/jasa untuk penyerahan pekerjaan.
(2) Pengguna barang/jasa melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan, baik secara sebagian atau seluruh pekerjaan, dan menugaskan penyedia barang/jasa untuk memperbaiki dan/atau melengkapi kekurangan pekerjaan sebagaimana yang disyaratkan dalam kontrak.
(3) Pengguna barang/jasa menerima penyerahan pekerjaan setelah seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak.
(4) Penyedia barang/jasa wajib melakukan pemeliharaan atas hasil pekerjaan selama masa yang ditetapkan dalam kontrak, sehingga kondisinya tetap seperti pada saat penyerahan pekerjaan dan dapat memperoleh pembayaran uang retensi dengan menyerahkan jaminan pemeliharaan.
(5) Masa pemeliharaan minimal untuk pekerjaan permanen 6 (enam) bulan untuk pekerjaan semi permanen 3 (tiga) bulan dan masa pemeliharaan dapat melampaui tahun anggaran.
(6) Setelah masa pemeliharaan berakhir, pengguna barang/jasa mengembalikan jaminan pemeliharaan kepada penyedia barang/jasa.


Paragraf Kesembilan
Sanksi

Pasal 37
(1) Bila terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan akibat dari kelalaian penyedia barang/jasa, maka penyedia barang/jasa yang bersangkutan dikenakan denda keterlambatan sekurang-kurangnya 1o/oo (satu perseribu) per hari dari nilai kontrak.
(2) Bila terjadi keterlambatan pekerjaan/pembayaran karena semata-mata kesalahan atau kelalaian pengguna barang/jasa, maka pengguna barang/jasa membayar kerugian yang ditanggung penyedia barang/jasa akibat keterlambatan dimaksud, yang besarannya ditetapkan dalam kontrak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Konsultan perencana yang tidak cermat dan mengakibatkan kerugian pengguna barang/jasa dikenakan sanksi berupa keharusan menyusun kembali perencanaan dengan beban biaya dari konsultan yang bersangkutan, dan/atau tuntutan ganti rugi.


Paragraf Kesepuluh
Penyelesaian Perselisihan

Pasal 38
(1) Bila terjadi perselisihan antara pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa maka kedua belah pihak menyelesaikan perselisihan di Indonesia dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau melalui pengadilan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam kontrak menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
(2) Keputusan dari hasil penyelesaian perselisihan dengan memilih salah satu cara tersebut di atas adalah mengikat dan segala biaya yang timbul untuk menyelesaikan perselisihan tersebut dipikul oleh para pihak sebagaimana diatur dalam kontrak.


BAB III
SWAKELOLA

Pasal 39
(1) Swakelola adalah pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri.
(2) Swakelola dapat dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang/jasa;
b. instansi pemerintah lain;
c. kelompok masyarakat/lembaga swadaya masyarakat penerima hibah.

(3) Pekerjaan yang dapat dilakukan dengan swakelola:

a. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia instansi pemerintah yang bersangkutan dan sesuai dengan fungsi dan tugas pokok pengguna barang/jasa; dan/atau
b. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi masyarakat setempat; dan/atau
c. pekerjaan tersebut dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh penyedia barang/jasa; dan/atau
d. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa akan menanggung resiko yang besar; dan/atau
e. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya, atau penyuluhan; dan/atau
f. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metoda kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa; dan/atau
g. pekerjaan khusus yang bersifat pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium, pengembangan sistem tertentu dan penelitian oleh perguruan tinggi/lembaga ilmiah pemerintah;
h. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi instansi pengguna barang/jasa yang bersangkutan.
(4) Prosedur swakelola meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan di lapangan dan pelaporan.


BAB IVPENDAYAGUNAAN PRODUKSI DALAM NEGERI DAN
PERAN SERTA USAHA KECIL TERMASUK KOPERASI KECIL

Bagian Pertama
Pengadaan Barang/Jasa yang Dibiayai
dengan Dana Dalam Negeri

Pasal 40
(1) Instansi pemerintah wajib:

a. memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional dalam pengadaan barang/jasa;
b. memaksimalkan penggunaan penyedia barang/jasa nasional;

c. memaksimalkan penyediaan paket-paket pekerjaan untuk usaha kecil termasuk koperasi kecil serta kelompok masyarakat.
(2) Kewajiban instansi pemerintah sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) dilakukan pada setiap tahapan pengadaan barang/jasa mulai dari persiapan sampai dengan penyelesaian perjanjian/kontrak.
(3) Dalam perjanjian wajib mencantumkan persyaratan penggunaan:

a. Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar lain yang berlaku dan/atau standar internasional yang setara yang ditetapkan oleh instansi terkait yang berwenang;
b. produksi dalam negeri sesuai dengan kemampuan industri nasional;
c. tenaga ahli dan/atau penyedia barang/jasa dalam negeri.



Bagian Kedua
Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai
dengan Dana Pinjaman/Hibah Luar Negeri

Pasal 41
(1) Pengadaan barang/jasa melalui pelelangan internasional agar mengikutsertakan penyedia barang/jasa nasional seluas-luasnya.
(2) Pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan pinjaman kredit ekspor atau kredit lainnya harus dilakukan dengan persaingan sehat dengan persyaratan yang paling menguntungkan negara, dari segi harga dan teknis, dengan memaksimalkan penggunaan komponen dalam negeri dan penyedia barang/jasa nasional.
(3) Pemilihan penyedia barang/jasa yang dibiayai dengan pinjaman kredit ekspor atau kredit lainnya harus dilakukan di dalam negeri.
(4) Apabila pinjaman kredit ekspor atau hibah luar negeri disertai dengan syarat bahwa pelaksanaan pengadaan barang/jasa hanya dapat dilakukan di negara pemberi pinjaman kredit ekspor/hibah, agar tetap diupayakan semaksimal mungkin penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri dan mengikutsertakan penyedia barang/jasa nasional.


Bagian Ketiga
Keikutsertaan Perusahaan Asing

Pasal 42
(1) Perusahaan asing dapat ikut serta di dalam pengadaan barang/jasa dengan nilai:
a. Untuk jasa pemborongan di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
b. Untuk barang/jasa lainnya di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
c. Untuk jasa konsultansi di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Perusahaan asing yang melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus melakukan kerjasama usaha dengan perusahaan nasional dalam bentuk kemitraan, subkontrak, dan lain-lain, apabila ada perusahaan nasional yang memiliki kemampuan di bidang yang bersangkutan.
(3) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pada pasal ini dapat dikecualikan untuk pengadaan material dan peralatan pertahanan di lingkungan Departemen Pertahanan/TNI yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan/Panglima TNI/Kepala Staf Angkatan.


Bagian Keempat
Preferensi Harga

Pasal 43
(1) Dalam dokumen pengadaan diwajibkan memberikan preferensi harga untuk barang produksi dalam negeri, dan penyedia jasa pemborongan nasional.
(2) Untuk pengadaan barang/jasa internasional yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri, besarnya preferensi harga untuk barang produksi dalam negeri setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) di atas harga penawaran barang impor, tidak termasuk bea masuk.
(3) Besarnya preferensi harga untuk pekerjaan jasa pemborongan yang dikerjakan oleh kontraktor nasional adalah 7,5% (tujuh koma lima persen) di atas harga penawaran terendah dari kontraktor asing.


Bagian Kelima
Penggunaan Produksi Dalam Negeri

Pasal 44
(1) Pengadaan barang/jasa supaya mengacu pada daftar inventarisasi barang/jasa yang termasuk produksi dalam negeri yang didasarkan pada kriteria tertentu, menurut bidang, subbidang, jenis, dan kelompok barang/jasa.
(2) Pengaturan mengenai daftar inventarisasi dan penyebarluasan informasi barang/jasa produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikeluarkan oleh departemen yang membidangi perindustrian dan perdagangan.


Bagian Keenam
Peran Serta dan Pemaketan Pekerjaan
Untuk Usaha Kecil Termasuk Koperasi Kecil

Paragraf Pertama
Peran Serta Usaha Kecil Termasuk Koperasi Kecil

Pasal 45
(1) Dalam proses perencanaan dan penganggaran proyek/kegiatan, instansi pemerintah mengarahkan dan menetapkan besaran pengadaan barang/jasa untuk usaha kecil termasuk koperasi kecil.
(2) Departemen yang membidangi koperasi, pengusaha kecil, dan menengah mengkoordinasikan pemberdayaan usaha kecil termasuk koperasi kecil dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
(3) Pimpinan instansi yang membidangi koperasi, pengusaha kecil dan menengah bersama instansi terkait di Propinsi/Kabupaten/Kota menyebarluaskan informasi mengenai peluang usaha kecil termasuk koperasi kecil mengenai rencana pengadaan barang/jasa pemerintah di wilayahnya dan menyusun Direktori Peluang Bagi Usaha Kecil termasuk koperasi kecil untuk disebarluaskan kepada usaha kecil termasuk koperasi kecil.


Paragraf Kedua
Pemaketan Pekerjaan Untuk Usaha Kecil Termasuk Koperasi Kecil

Pasal 46
Nilai paket pekerjaan pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) diperuntukkan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil termasuk koperasi kecil.


BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama
Pembinaan

Pasal 47
(1) Instansi pemerintah wajib mensosialisasikan dan memberikan bimbingan teknis secara intensif kepada semua pejabat perencana, pelaksana, dan pengawas di lingkungan instansinya yang terkait agar Keputusan Presiden ini dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar.
(2) Instansi pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian pelaksanaan pengadaan barang/jasa termasuk kewajiban mengoptimalkan penggunaan produksi dalam negeri, perluasan kesempatan berusaha bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil.
(3) Pengguna barang/jasa setiap triwulan wajib melaporkan realisasi pengadaan barang/jasa secara kumulatif kepada pimpinan instansinya.
(4) Instansi pemerintah wajib mengumumkan secara terbuka rencana pengadaan barang/jasa setiap awal pelaksanaan tahun anggaran.
(5) Pemimpin instansi pemerintah wajib membebaskan segala bentuk pungutan biaya yang berkaitan dengan perijinan dalam rangka pengadaan barang/jasa pemerintah kepada usaha kecil termasuk koperasi kecil.
(6) Instansi pemerintah dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun dalam pengadaan barang/jasa pemerintah kecuali pungutan perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 48
(1) Pengguna barang/jasa segera setelah pengangkatannya, menyusun organisasi, uraian tugas dan fungsi secara jelas, kebijaksanaan pelaksanaan, rencana kerja yang menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan, bentuk hubungan kerja, sasaran yang harus dicapai, tata laksana dan prosedur kerja secara tertulis, dan disampaikan kepada atasan langsung dan unit pengawasan intern instansi yang bersangkutan.
(2) Pengguna barang/jasa wajib melakukan pencatatan dan pelaporan keuangan dan hasil kerja pada setiap kegiatan/proyek, baik kemajuan maupun hambatan dalam pelaksanaan tugasnya dan disampaikan kepada atasan langsung dan unit pengawasan intern instansi yang bersangkutan.
(3) Pengguna barang/jasa wajib menyimpan dan memelihara seluruh dokumen pelaksanaan pengadaan barang/jasa termasuk berita acara proses pelelangan/seleksi.
(4) Instansi pemerintah wajib melakukan pengawasan terhadap pengguna barang/jasa dan panitia/pejabat pengadaan di lingkungan instansi masing-masing, dan menugaskan kepada aparat pengawasan fungsional untuk melakukan pemeriksaan sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Unit pengawasan intern pada instansi pemerintah melakukan pengawasan kegiatan/proyek, menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan masalah atau penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, kemudian melaporkan hasil pemeriksaannya kepada menteri/pimpinan instansi yang bersangkutan dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
(6) Pengguna barang/jasa wajib memberikan tanggapan/informasi mengenai pengadaan barang/jasa yang berada di dalam batas kewenangannya kepada peserta pengadaan/masyarakat yang mengajukan pengaduan atau yang memerlukan penjelasan.


Bagian Ketiga
Tindak Lanjut Pengawasan

Pasal 49
(1) Kepada para pihak yang ternyata terbukti melanggar ketentuan dan prosedur pengadaan barang/jasa, maka:
a. dikenakan sanksi administrasi;
b. dituntut ganti rugi/digugat secara perdata;
c. dilaporkan untuk diproses secara pidana.

(2) Perbuatan atau tindakan penyedia barang/jasa yang dapat dikenakan sanksi adalah:
a. berusaha mempengaruhi panitia pengadaan/pejabat yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan/kontrak, dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. melakukan persekongkolan dengan penyedia barang/jasa lain untuk mengatur harga penawaran di luar prosedur pelaksanaan pengadaan barang/jasa sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan pihak lain;
c. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan pengadaan barang/jasa yang ditentukan dalam dokumen pengadaan;
d. mengundurkan diri dengan berbagai alasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh panitia pengadaan;
e. tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan kontrak secara bertanggung jawab;
(3) Atas perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang didahului dengan tindakan tidak mengikutsertakan penyedia barang/jasa yang terlibat dalam kesempatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang bersangkutan.
(4) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dilaporkan oleh pengguna barang/jasa atau pejabat yang berwenang lainnya kepada:
a. Menteri/Panglima TNI/Kepala Polri/Pemimpin Lembaga/ Gubernur/Bupati/ Walikota/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/ Direksi BUMN/BUMD;
b. Pejabat berwenang yang mengeluarkan izin usaha penyedia barang/jasa yang bersangkutan.
(5) Kepada perusahaan non usaha kecil termasuk non koperasi kecil yang terbukti menyalahgunakan kesempatan dan/atau kemudahan yang diperuntukkan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.


BAB VI
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Pasal 50
(1) Pengembangan kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LPKPP) yang pembentukannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden tersendiri.
(2) LPKPP sudah terbentuk paling lambat pada tanggal 1 Januari 2005.

(3) Langkah-langkah persiapan pembentukan LPKPP dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.


BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 51
Ketentuan pengadaan barang/jasa yang dilakukan melalui pola kerjasama pemerintah dengan badan usaha, diatur dengan Keputusan Presiden tersendiri.


BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52
(1) Pengguna barang/jasa dan panitia/pejabat pengadaan wajib memenuhi persyaratan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 paling lambat tanggal 1 Januari 2006.
(2) Selama persyaratan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah bagi pengguna barang/jasa dan panitia/pejabat pengadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 belum dipenuhi, maka sampai dengan batas waktu tanggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku tanda bukti keikutsertaan dalam pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah.
(3) Sampai dengan tanggal 31 Desember 2005, di bidang jasa konstruksi diberlakukan ketentuan pemaketan sebagai berikut:
a. Pengadaan dengan nilai di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) diperuntukkan bagi usaha menengah jasa pelaksanaan konstruksi, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha menengah;
b. Pengadaan dengan nilai sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) diperuntukkan bagi usaha kecil jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil;
(4) Pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan sebelum tanggal 1 Januari 2004 dapat berpedoman pada Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah beserta Petunjuk Teknisnya.


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 53
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka:

1. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1999 yang masih berlaku pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan;
2. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah;
beserta petunjuk teknis dan seluruh perubahannya dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 54
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Nopember 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Nopember 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO>/div>


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 120
--------------------------------------------------------------------------------

PENJELASAN
ATAS
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH


PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1

Yang dimaksud dengan dilaksanakan secara swakelola adalah:

a. Dilaksanakan sendiri secara langsung oleh instansi penanggung jawab anggaran;
b. Institusi pemerintah penerima kuasa dari penanggung jawab anggaran, misalnya: perguruan tinggi negeri atau lembaga penelitian/ilmiah pemerintah;
c. Kelompok masyarakat penerima hibah dari penanggung jawab anggaran.

Angka 2

Cukup jelas
Angka 3

Cukup jelas
Angka 4

Cukup jelas
Angka 5

Cukup jelas
Angka 6

Cukup jelas
Angka 7

Cukup jelas
Angka 8

Cukup jelas
Angka 9

Cukup jelas
Angka 10

Cukup jelas
Angka 11

Cukup jelas
Angka 12

Cukup jelas
Angka 13

Cukup jelas
Angka 14

Cukup jelas
Angka 15

Cukup jelas
Angka 16

Cukup jelas
Angka 17

Cukup jelas
Angka 18

Kriteria Usaha kecil adalah:

a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
b. Milik Warga Negara Indonesia; dan

c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menegah atau Usaha Besar; atau
d. Koperasi kecil yang mempunyai unit usaha jasa pemborongan, pengadaan barang atau jasa lainnya.
Pembuktian usaha kecil cukup dengan surat ijin usaha yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota setempat.
Angka 19

Cukup jelas
Angka 20

Cukup jelas
Angka 21

Cukup jelas
Angka 22

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan dibiayai dari APBN/APBD adalah pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD.
Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 3

Panitia pengadaan dan/atau pejabat yang berwenang dalam mengeluarkan keputusan, ketentuan, prosedur, dan tindakan lainnya, harus didasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut. Dengan demikian akan dapat tercipta suasana yang kondusif bagi tercapainya efisiensi, partisipasi dan persaingan yang sehat dan terbuka antara penyedia jasa yang setara dan memenuhi syarat, menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barang/jasa, karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, baik dari segi fisik, keuangan dan manfaatnya bagi kelancaran pelaksanaan tugas institusi pemerintah.

Pasal 4

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c

Cukup jelas
Huruf d

Cukup jelas
Huruf e

Cukup jelas
Huruf f

Cukup jelas
Huruf g

Wilayah Republik Indonesia termasuk Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Huruf h

Pengumuman secara terbuka artinya diumumkan di media cetak, media elektronik, dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum.

Pasal 5

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c

Cukup jelas
Huruf d

Cukup jelas
Huruf e

Yang dimaksud dengan "menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan", adalah dimaksudkan untuk menjamin perilaku dan tindakan tidak mendua dari para pihak dalam melaksanakan tugas, fungsi dan perannya. Oleh karena itu, yang bersangkutan tidak boleh memiliki/melakukan peran ganda, misalnya:

1) Dalam suatu perusahaan Perseroan Terbatas, seorang anggota Direksi tidak boleh merangkap sebagai Dewan Komisaris;
2) Dalam pelaksanaan proyek jasa konstruksi/pemborongan, konsultan perencana tidak boleh bertindak sebagai pelaksana/pemborong pekerjaan yang direncanakannya, kecuali dalam pelaksanaan turnkey contract;
3) Pengurus koperasi pegawai atau anak perusahaan dalam suatu instansi/BHMN/BUMN/BUMD yang mengikuti pengadaan barang/jasa dan bersaing dengan perusahaan lainnya, tidak boleh merangkap sebagai anggota panitia pengadaan atau sebagai pejabat yang berwenang menentukan pemenang lelang/Pemilihan Langsung/Penunjukan Langsung.
Huruf f

Cukup jelas
Huruf g

Cukup jelas
Huruf h

Cukup jelas

Pasal 6

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Pengadaan barang/jasa swakelola adalah pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri oleh institusi pemerintah penanggungjawab anggaran atau institusi pemerintah penerima kuasa dari penanggungjawab anggaran atau kelompok masyarakat penerima hibah.

Pasal 7

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Proses penyusunan Naskah Pinjaman/Hibah Luar Negeri (NPHLN) harus berpedoman pada Keputusan Presiden ini.
Huruf c

Pengadaan barang/jasa untuk investasi adalah barang/jasa yang ditujukan untuk menambah aset guna meningkatkan kemampuan operasi baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang dan pada umumnya tidak habis dipakai dalam 1 (satu) tahun. Dalam pembukuan/neraca perusahaan aset tersebut dapat berupa aktiva lancar maupun maupun aktiva tetap.
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 8

Komponen biaya administrasi proyek harus disediakan dalam anggaran
Huruf a

Besaran honorarium pengguna barang/jasa, panitia/pejabat pengadaan, bendaharawan, dan staf proyek ditetapkan secara proporsional berdasarkan pengalaman dan profesionalisme;
Huruf b

Biaya pengumuman pengadaan barang/jasa meliputi:

1) Biaya pengumuman rencana pengadaan barang/jasa pada awal pelaksanaan anggaran;
2) Biaya pengumuman pemilihan penyedia barang/jasa.

Huruf c

Cukup jelas
Huruf d

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c

Yang dimaksud persyaratan manajerial, antara lain:

1) Berpendidikan sekurang-kurangnya Diploma 3 (D3) sesuai dengan bidang keahlian yang diperlukan;
2) Memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa pemerintah;

3) Memiliki pengalaman minimal 2 (dua) tahun memimpin/ mengorganisasi kelompok kerja yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa;
4) Memiliki ketaatan yang tinggi dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya;

5) Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, bertindak tegas dan keteladanan dalam sikap dan perilaku antara lain tidak terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN);
6) Penilaian kondite dan prestasi kerja (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) untuk masa 3 (tiga) tahun terakhir dengan nilai rata-rata minimal Baik.
Huruf d

Dalam masa transisi, sebelum memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah, seseorang yang telah diangkat menjadi pengguna harus mengikuti pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pejabat yang wajib mempunyai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa adalah: pemimpin proyek, pemimpin bagian proyek, pengguna anggaran Daerah, pejabat yang disamakan, dan panitia/pejabat pengadaan.

Huruf e

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Yang dimaksud dengan dilarang mengadakan ikatan perjanjian adalah menerbitkan surat penunjukan dan/atau menandatangani surat perintah kerja/kontrak.
Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Anggota panitia yang berasal dari instansi teknis lain adalah anggota panitia yang diangkat dari unit kerja/instansi/departemen/lembaga lain karena di instansi yang sedang melakukan pengadaan barang/jasa tidak mempunyai pegawai yang memahami masalah teknis yang ada dalam ketentuan pengadaan barang/jasa, jenis pekerjaan, dan isi dokumen pengadaan dari pekerjaan yang akan dilakukan pengadaannya.
Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c

Cukup jelas
Huruf d

Cukup jelas<
Huruf e

Hubungan keluarga yang dimaksud adalah hubungan keluarga sedarah dan semenda.
Huruf f

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas
Ayat (6)

Cukup jelas
Ayat (7)

Cukup jelas
Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha/kegiatan sebagai penyedia barang/jasa antara lain peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi, kesehatan, perhubungan, perindustrian.
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c

Cukup jelas
Huruf d

Cukup jelas
Huruf e

Cukup jelas
Huruf f

Cukup jelas
Huruf g

Cukup jelas
Huruf h

Merupakan kewajiban panitia/pejabat pengadaan untuk mencari informasi dalam rangka meyakini atau memastikan suatu badan usaha tidak masuk dalam daftar hitam instansi pemerintah manapun dengan cara antara lain menghubungi pengguna barang/jasa sebelumnya. Untuk mempercepat kerja panitia/pejabat pengadaan, cukup penyedia membuat pernyataan bahwa penyedia barang/jasa tidak sedang masuk dalam daftar hitam. Kepada seluruh penyedia jasa juga tidak diwajibkan mempunyai surat keterangan tidak masuk dalam daftar hitam dari instansi/lembaga baik pemerintah maupun swasta.
Huruf i

Cukup jelas
Huruf j

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Yang dimaksud dengan pertentangan kepentingan antara lain:

a. Penyedia barang/jasa yang telah ditunjuk sebagai konsultan perencana tidak boleh menjadi penyedia barang/jasa pemborongan untuk pekerjaan fisik yang direncanakan;
b. Penyedia barang/jasa yang telah ditunjuk sebagai konsultan pengawas tidak boleh menjadi penyedia/barang jasa pemborongan untuk pekerjaan fisik yang diawasi;
Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Data yang digunakan sebagai dasar penyusunan HPS antara lain:
a. Harga pasar setempat menjelang dilaksanakannya pengadaan;

b. Informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Daftar biaya/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh agen tunggal/pabrikan;

d. Biaya kontrak sebelumnya yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya, apabila terjadi perubahan biaya; e. Daftar biaya standar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Nilai total HPS diumumkan sejak rapat penjelasan lelang/aanwijzing, rincian HPS tidak boleh dibuka dan bersifat rahasia.
Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas
Ayat (6)

Cukup jelas
Ayat (7)

Cukup jelas
Ayat (8)

Cukup jelas
Ayat (9)

Cukup jelas
Ayat (10)

Cukup jelas
Ayat (11)

Yang dimaksud dengan prakualifikasi massal untuk pengadaan barang/jasa kurun waktu tertentu adalah pelaksanaan prakualifikasi yang dilakukan secara sekaligus kepada seluruh calon penyedia barang/jasa yang mendaftar dengan menerbitkan tanda daftar lulus prakualifikasi/sejenis yang berlaku pada kurun waktu tertentu, misalnya 1 (satu) tahun anggaran dan hanya berlaku untuk Departemen/Kementerian/Lembaga/TNI/Polri/Pemerintah Daerah/BI/ BHMN/ BUMN/BUMD yang menerbitkan.
Ayat (12)

Semua pungutan yang dilakukan oleh pengguna/panitia/pejabat pengadaan harus disetorkan ke Kas Negara.

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c

Cukup jelas
Huruf d

Yang dimaksud dengan kriteria dan persyaratan yang diskriminatif dan tidak obyektif, antara lain:

1. Persyaratan-persyaratan yang menghalangi terwujudnya persaingan sehat, misalnya: persyaratan menjadi anggota asosiasi tertentu, penggunaan metode pemilihan penyedia dengan cara undian, mengharuskan pelaksanaan pengadaan barang/jasa kepada BUMD setempat, dan sebagainya;
2. Persyaratan-persyaratan yang menghalangi keikutsertaaan penyedia barang/jasa dari daerah lain, misalnya: kewajiban mempunyai rekening di bank daerah setempat, kewajiban membuka kantor perwakilan/cabang sebelum ditunjuk sebagai penyedia barang/jasa, kewajiban mempunyai surat ijin tempat usaha (SITU) daerah setempat;

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pengumuman pemilihan penyedia barang/jasa harus dapat memberikan informasi secara luas kepada masyarakat dunia usaha baik pengusaha daerah setempat maupun pengusaha daerah lainnya.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas


Pasal 18

Cukup jelas


Pasal 19

Cukup jelas


Pasal 20

Cukup jelas


Pasal 21

Cukup jelas


Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Pengumuman pemilihan penyedia jasa konsultansi harus dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas, terutama penyedia jasa konsultansi baik dari daerah setempat maupun dari daerah lainnya.

Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Huruf a

Metoda 1 (satu) sampul hanya untuk pengadaan jasa konsultansi dengan metoda evaluasi penunjukan langsung.
Huruf b

Metoda 2 (dua) sampul untuk pengadaan jasa konsultansi dengan metoda evaluasi selain penunjukan langsung.
Huruf c

Metoda 2 (dua) tahap hanya digunakan untuk pengadaan jasa konsultansi yang bersifat kompleks dan biayanya relatif besar yang menggunakan metoda evaluasi kualitas.

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Pada prinsipnya harga satuan tidak dapat dinegosiasikan, kecuali untuk biaya langsung non personil yang dapat diganti (reimburseable at cost) atau biaya langsung personil yang dinilai tidak wajar.
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas
Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Cukup jelas
Huruf c

Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang lainnya adalah pengguna barang/jasa, atasan langsung/atasan pengguna barang/jasa.
Huruf d

Cukup jelas
Huruf e

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas
Ayat (6)

Cukup jelas
Ayat (7)

Cukup jelas
Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Seleksi ulang yang disebabkan karena tidak ada peserta yang memenuhi persyaratan teknis maka dilakukan dengan:
a. melakukan perbaikan KAK;
b. mengumumkan kembali pengadaan jasa konsultansi;

c. melakukan kembali prakualifikasi dan menyusun kembali daftar pendek konsultan.
Huruf c

Seleksi ulang yang disebabkan karena tidak ada peserta yang menyetujui/menyepakati klarifikasi dan negosiasi, maka dilakukan dengan:
a. mengumumkan kembali pengadaan jasa konsultansi;

b. melakukan kembali prakualifikasi dan menyusun daftar pendek konsultan dengan tidak mengikutsertakan konsultan yang telah masuk dalam daftar pendek konsultan sebelumnya.
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Apabila sanggahan dan sanggahan banding karena sebab pada Pasal 27 ayat (1) huruf b, huruf c atau huruf e ternyata benar, maka dilakukan lelang/seleksi umum/terbatas ulang dengan membentuk panitia/pejabat pengadaan baru;
Ayat (5)

Cukup jelas
Ayat (6)

Cukup jelas
Ayat (7)

Cukup jelas
Ayat (8)

Cukup jelas
Ayat (9)

Cukup jelas
Ayat (10)

Cukup jelas
Ayat (11)

Cukup jelas
Ayat (12)

Cukup jelas
Ayat (13)

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Sistem kontrak ini lebih tepat digunakan untuk pembelian barang dengan contoh yang jelas, atau untuk jenis pekerjaan borongan yang perhitungan volumenya untuk masing- masing unsur/jenis pekerjaan sudah dapat diketahui dengan pasti berdasarkan gambar rencana dan spesifikasi teknisnya. Harga yang mengikat dalam kontrak sistem ini adalah total penawaran harga.
Ayat (3)

Untuk sistem kontrak harga satuan, pekerjaan tambah/kurang dimungkinkan berdasarkan hasil pengukuran bersama atas pekerjaan yang diperlukan. Pertimbangan untuk memilih dengan cara ini adalah karena untuk keakuratan pengukuran volume pekerjaan yang tinggi diperlukan survei dan penelitian yang sangat mendalam, detail dan sampel yang banyak, waktu yang lama sehingga biaya sangat besar, padahal pengukuran juga lebih mudah dalam pelaksanaan, dipihak lain pekerjaan sangat mendesak dan harus segera dilaksanakan, sehingga untuk pekerjaan yang sifat kondisinya seperti hal tersebut tidak tepat bila digunakan kontrak dengan Sistem lump sum.
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Sistem ini lebih tepat digunakan untuk membeli suatu barang atau industri jadi yang hanya diperlukan sekali saja, dan tidak mengutamakan kepentingan untuk alih (transfer) teknologi selanjutnya.
Ayat (6)

Cukup jelas
Ayat (7)

Cukup jelas
Ayat (8)

Untuk sistem kontrak tahun jamak perlu diperhatikan bahwa ketentuan mengenai eskalasi dan perhitungan rumus eskalasi ditetapkan oleh kepala kantor/satuan kerja/pimpinan proyek/pimpinan bagian proyek dan dimasukan dalam dokumen pengadaan/kontrak.
Ayat (9)

Cukup jelas
Ayat (10)

Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas
Ayat (5)

Cukup jelas
Ayat (6)

Bentuk standar kontrak dan SPK dicantumkan pada dokumen pengadaan dan disampaikan kepada para calon penyedia jasa.
Ayat (7)

Untuk memperlancar persiapan penandatanganan kontrak dan memperkecil resiko yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan kontrak baik secara material maupun finansial, maka untuk pengadaan barang/jasa yang kompleks dan atau bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) agar sejak penyusunan dokumen pengadaan khususnya pembuatan konsep kontrak telah menggunakan jasa ahli hukum kontrak yang profesional.

Pasal 32

Ayat (1) Bentuk acara serah terima lapangan ditetapkan berdasarkan hasil berita acara peninjauan lapangan yang dilakukan pada saat peninjauan lapangan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas


Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Khusus untuk pekerjaan konstruksi, pembayaran hanya dapat dilakukan senilai pekerjaan yang telah terpasang, tidak termasuk bahan-bahan, alat-alat yang ada di lapangan.


Pasal 34

Dalam melaksanakan perubahan kontrak harus memperhatikan sistem kontrak. Ketentuan perpanjangan pelaksanaan kontrak harus dengan dokumen tertulis dari pemberi tugas.


Pasal 35

Cukup jelas


Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Masa pemeliharaan pekerjaan harus diberikan waktu yang cukup, dengan memperhatikan sifat, jenis dari pekerjaannya.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan pekerjaan permanen adalah pekerjaan yang umur rencananya lebih dari 1 (satu) tahun.
Yang dimaksud dengan pekerjaan semi permanen adalah pekerjaan yang umur rencananya kurang dari 1 (satu) tahun.

Ayat (6)

Cukup jelas


Pasal 37

Ayat (1)

Besarnya denda keterlambatan tidak dibatasi dan pengguna barang/jasa dapat memutuskan kontrak apabila denda keterlambatan sudah melampaui nilai jaminan pelaksanaan. Penyedia barang/jasa tidak dapat menuntut kerugian atas pemutusan kontrak tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas


Pasal 38

Ayat (1)

Arbitrase atau perwasitan adalah cara penyelesaian suatu sengketa diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase (Arbitrarian agreement) adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Klausul Arbitrase adalah suatu klausul dalam perjanjian yang menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka yang mungkin timbul dimasa depan menyangkut hubungan hukum mereka ke forum arbitrase.
Arbiter/wasit adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
Musyawarah adalah metode penyelesaian sengketa melalui perundingan dan persetujuan yang mengikat kedua belah pihak diluar arbitrase maupun pengadilan.
Mediasi adalah metode penyelesaian sengketa yang diselesaikan oleh suatu panitia pendamai yang berfungsi sebagai wasit dibentuk dan diangkat oleh kedua belah pihak yang terdiri dari anggota mewakili pihak pertama dan pihak kedua dan ketua yang disetujui oleh kedua belah pihak. Keputusan panitia pendamai mengikat kedua belah pihak dan biaya penyelesaian perselisihan yang dikeluarkan ditanggung secara bersama.
Penyelesaian pengadilan adalah metode penyelesaian sengketa yang timbul dari hubungan hukum mereka yang diputuskan oleh pengadilan. Keputusan pengadilan mengikat kedua belah pihak.

Ayat (2)

Biaya yang diakibatkan penyelesaian perselisihan yang merupakan tanggung jawab kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/bagian proyek dibebankan pada kegiatan proyek bersangkutan.


Pasal 39

Cukup jelas


Pasal 40

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan instansi terkait yang berwenang antara lain:
a. Departemen Pertahanan/TNI untuk standar peralatan/perlengkapan militer;
b. Departemen/Lembaga lainnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.


Pasal 41

Cukup jelas


Pasal 42

Cukup jelas


Pasal 43

Ayat (1)

Pemberian preferensi harga tidak mengubah harga penawaran dan hanya dipergunakan Panitia pengadaan untuk keperluan evaluasi penawaran.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas


Pasal 44

Cukup jelas


Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Informasi yang wajib diberikan kepada masyarakat adalah:
a. Perencanaan paket-paket pekerjaan;
b. Pengumuman pengadaan barang/jasa;
c. Hasil evaluasi prakualifikasi;
d. Hasil evaluasi pemilihan penyedia;
e. Dokumen kontrak;
f. Pelaksanaan kontrak.

Ayat (7)

Cukup jelas


Pasal 49

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan sanksi administrasi adalah:

1. Sanksi administrasi kepada aparat pemerintah/BUMN/BUMD meliputi sanksi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 untuk Pegawai Negeri Sipil, dan sanksi untuk anggota TNI, sanksi untuk anggota Polri dan sanksi untuk pegawai BUMN/BUMD, serta sanksi untuk pejabat negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sanksi administrasi bagi penyedia barang/jasa meliputi: pembatalan sebagai pemenang, pembatalan kontrak, dimasukkan dalam daftar hitam.
Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Berdasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, penyedia barang/jasa dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang pelelangan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Terhadap penyedia barang/jasa yang melanggar Pasal 22 tersebut, berdasarkan Pasal 48 ayat (2) Undang-undang tersebut dikenakan hukuman minimal Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setinggi-tingginya Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti selama-lamanya 5 (lima) bulan.
Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas


Pasal 50

Cukup jelas


Pasal 51

Cukup jelas


Pasal 52

Cukup jelas


Pasal 53

Cukup jelas


Pasal 54

Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4330